CIMAHI, INSPIRA,- Kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) menjangkit ratusan anak di Indonesia. Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) mendukung pemerintah melakukan investigasi penyebabnya.
Kasus terbaru ada dua orang anak yang kembali mengidap GGAPA dan salah satunya dinyatakan meninggal dunia pada 1 februari 2023 lalu.
Rektor Unjani Hikmanto Juwana mengatakan kegiatan Dialog Publik Investigasi Kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) Pada Anak dan Pentingnya RUU Obat dan Makanan dalam Menghadapi Tangtangan Kesehatan yang digelar di Aula Fisip Unjani, Rabu 8 Maret 2023.
“Acara ini sebenarnya merupakan kerjasama Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) dengan Policy Innovation Center (PIC) Indonesia,” kata Rektor Unjani Hikmanto Juwana saat.
Ia menjelaskan, dalam kegiatan tersebut pihaknya mengangkat sebuah tema dalam forum group discussion (FGD) yang berkaitan dengan masalah yang belakangan ini mungkin dibicarakan di masyarakat, yaitu isu soal gagal ginjal dan RUU obat dan makanan.
“Terkait dengan isu gagal ginjal, tadi saya sudah sampaikan memang harus dilakukan investigasi terkait dengan permasalahan ini dan jangan saling menuding, tapi kita mau tahu siapa sebenarnya yang mengakibatkan adanya kasus gagal ginjal ini,” jelasnya.
“Kemudian, jangan sampai nanti tidak punya basis yang kuat, lalu kita menyalahkan. Sebab, itu akan merusak industri farmasi kita atau industri kesehatan lainnya karena dianggap ini tidak kompeten dan lain sebagainya,” sambungnya.
Hikmanto menilai, langkah investigasi terkait penyebab kasus GGAPA ini sangat penting. Namun, sebagai orang yang berlatarbelakang hukum telah menyampaikan bahwa jika ingin melakukan investigasi semua pihak harus memiliki basis fakta dan bukti.
“Kedua, isunya adalah karena kita saat ini sangat concern terhadap masalah kesehatan masyarakat, maka menurut saya RUU Obat dan Makanan yang saat sekarang ini sudah ada harus segera dibahas oleh Presiden dan DPR, atau pemerintah,” ujarnya.
Sebab, kata dia, dengan adanya RUU Obat dan Makanan tersebut semua pihak bisa mendapatkan Undang-Undang (UU) yang benar-benar kredibel. Termasuk, membentuk sebuah lembaga yang melakukan pengawasan itu sesuai dengan kompetensinya.
“Jadi, jangan sampai ada lembaga yang dibuat, tapi konteksnya kurang. Tadi, saya sudah saya sampaikan contoh-contoh di Indonesia sudah sering seperti itu,” katanya.
Ia mengaku, dirinya prihatin dengan adanya UU tentang penanggulangan terorisme yang memiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), namun tidak diberikan kewenangan yang seharusnya.
“Jadi, cuma namanya aja, sehingga tidak maksimal dalam menjalankan peran dan fungsinya. Nanti, kalau dalam konteks obat dan makanan ini ada sebenarnya sekarang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” ujarnya.
Seharusnya, sambung dia, BPOM ini diberikan kewenangan yang kuat, sehingga mungkin bisa disamakan dengan lembaga di Amerika yang dikenal dengan sebutan FDA (Food and Drug Administration).
“Jadi punya kewenangan yang sangat kuat untuk masyarakat. Namun, tentunya harus mengecilkan ego sektoral, karena memang ada lembaga-lembaga yang merasa kewenangannya diambil dan lain sebagainya,” paparnya.
“Dalam konteks penanggulangan terorisme kan juga begitu, ada yang merasa diambil dan lain sebagainya. Padahal, BNPT inu sebenarnya sebuah lembaga yang harus kita punya dan harus kuat untuk masyarakat,” tandasnya. (Juna)