BERITA INSPIRANASIONALSAINTEK

Cross-Cutting Atasi Ketimpangan Pendanaan Isu Mitigasi dan Adaptasi dalam Target Pengurangan Emisi dan Perubahan Iklim

BANDUNG INSPIRA – Isu mitigasi dalam target komitmen nasional untuk pengurangan emisi dan perubahan iklim (NDC) masih sangat kental jika dibandingkan isu adaptasi. Padahal, jika dilihat dari kondisi dan situasi di Indonesia, isu adatasi jauh lebih cocok dan sesuai dibandingkan dengan isu mitigasi, yang cakupannya lebih global. 

Demikian diungkapkan Associate Policy Analiyst Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto. Untuk itu disampaikannya, perspektif mengenai adaptasi di Indonesia masih sangat memerlukan dorongan dan sosialisasi mendalam khususnya ke lembaga-lembaga pendanaan, yang hingga saat ini masih terdominasi oleh isu mitigasi. 

“Indikator isu mitigasi yang jelas dan telah terstandarisasi secara global membuat lahan komersialiasi menjadi lebih terbuka dibanding isu adaptasi yang local context dan small scale. makanya (isu adaptasi) agak less priority,” jelas Joko dalam Climate Change Center ITB International Webinar 2022, Jumat (21/10/2022).

Disamping itu, Green Climate Fund (GCF) yang merupakan salah satu institusi pendanaan internasional terbesar di dunia juga masih dikuasai oleh isu-isu mitigasi. Ketimpangan antara mitigasi dan adaptasi ini, papar Joko dapat disebabkan belum familiarnya GCF, sebagai lembaga pendanaan, tentang isu adaptasi. Akhirnya, rendahnya pemahaman ini dapat menjadi beban sekaligus peluang. 

“Bebannya bagaimana kita bisa memberikan pembelajaran atau secara globalnya bisa desak GCF agar bisa memprioritaskan adaptasi, minimal setara dengan mitigasi. Tapi sebaliknya, akan ada peluang terutama pada slot isu adaptasi yang masih banyak, artinya proposal adaptasi harusnya lebih mudah diterima oleh GCF dibandingkan proposal mitigasi yang mungkin sudah penuh,” tuturnya. 

Sementara itu, Samantha Keen, seorang peneliti dari Universitan Cape Town yang saat ini tengah menjalankan penelitian tentang dampak perubahan iklim di Afrika Selatan mengaku cukup kesulitan mendapatkan bantuan pendanaan untuk penelitiannya. Diakuinya, isu adaptasi yang diusulkan tidak mendapatkan banyak perhatian karena skala penelitian yang lebih kecil dibandingkan isu mitigasi. 

Menurutnya, kecilnya peluang pendanaan dalam isu adaptasi ini juga disebabkan kecilnya peluang bagi penyedia dana untuk mempromosikan program mereka. Selain itu, isu adaptasi yang local base juga membuat banyak penyedia dana, termasuk GCF, enggan untuk menginvestasikan dana mereka. 

“Saya fokus meneliti pemanfaatan biogas untuk penyediaan listrik dan pengembangan sekolah, dan ini cukup meragukan bagi GCF, karena mereka cenderung menginginkan projek yang memiliki skala luas sehingga promosi yang mereka lakukan dapat lebih masif,” kata Samantha. 

“Jadi saya harap kedepannya akan lebih banyak perubahan dalam pendanaan sehingga ini bisa mencangkup lebih banyak projek bukan hanya dalam skala besar tapi juga projek yang lebih kecil,” harapnya. 

Karena itu, ia menilai solusi yang dapat didorong untuk mengatasi ketimpangan tersebut yakni dengan memperbanyak isu cross-cutting yang merupakan hasil penggabungan antara isu mitigasi dan adaptasi. Kementerian Keuangan, kata Joko, juga terus mendorong pengawinan dua isu ini demi mengurangi ambuguitas dan meningkatkan efektivitas program. 

Namun,  jika dilihat dilapangan Indonesia dinilai belum dapat memaksimalkan penyerapan dana untuk perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi, terlebih cross-cutting. Sebagai penghubung resmi antara Indonesia dan GCF, BKF memiliki memiliki tugas utama, salah satunya menerjemahkan apa yang menjadi ranah prioritas GFC yang sesuai dengan fokus program nasional. 

“Kami juga bertugas membuat No-Objection Letter (NOL), yang nantinya akan diberikan setelah proposal dianggap sesuai dengan country direction program atau prioritas nasional, sebelum dilanjutkan oleh Accredited Entity untuk pengajuan ke GCF,” tambahnya. 

Oleh sebab itu, PR besar yang perlu segera diatasi para peneliti Indonesia adalah pembuatan proposal yang cocok dengan sektor yang diprioritaskan GFC. Proposal yang mampu menonjolkan alasan dan data dampak perubahan iklim menjadi kunci jitu untuk dapat mendapatkan bantuan pendanaan, kata Joko. 

“Karena mereka (GFC) tidak ingin membawa data dampak non-climate, entah itu pembangunan, sosial, itu mereka tidak mau. jadi ini memang terkesan ada bounderingnya sendiri, khusus untuk climate saja,” tegasnya. 

Trik jitu lainnya adalah dengan menekankan hasil (outcome) yang dapat diintervensi dari proyek atau program yang akan diajukan. GFC, sambung Joko, sangat mendorong terciptanya perubahan sisten dan mekanisme untuk menekan dampak perubahan iklim, maka proposal yang mampu menampilkan paradigma tersebut memiliki peluang besar untuk diterima. 

“Karena sebenarnya GCF ini sangat fleksibel pembiayaannya dan bisa dipakai untuk kepentingan apapun, selain karena GCF itu sangat suka pada proposal yang bisa memunculkan potensi bisnis berkenjutan dan promote country ownership,” ujarnya.  

Endah Tri Kurniawati selaku Director of Fund Collection and Development Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mengakui masih besarnya celah dalam pendanaan, merujuk pada porsi pendanaan untuk ranah perubahan iklim yang tidak lebih dari 21,3 persen dari APBN. Strategi yang dilakukan BPDLH sebagai pengelola dana lingkungan hidup dan perubahan iklim adalah dengan melibatkan dana dari perusahaan swasta, demi menutupi kekurangan pendanaan dari APBN yang terbatas. 

“Karena kita tidak bisa hanya mengandalkan dana publik, baik nasional maupun internasional, dan jika kita mampu mengandeng private dalam partisipasi ini, kita tidak hanya memobilitasi dana publik tapi juga swasta. itu yang sedang kita dorong,” kata Endah. 

BPDLH, sambung Endah, juga tengah mendorong pembingkaian cangkupan dan batasan pendanaan melalui dukungan pencapaian hasil dari peningkatan ketahanan iklim. Ini diwujudkan dalam bentuk program cross-cutting yang mencangkup isu adaptasi dan mitigasi, baik yang berkaitan dengan manajemen ekosistem, energi terbarukan maupun adaptasi perubahan iklim. 

“Mengkombinasikan adaptasi dan mitigasi, misalnya ketika infrastruktur yang dibangun adalah kegiatan mitigasi, maka behaviornya adalah adaptasi, akan lebih mudah memberikan dampak global,” tandas dia. (TRIW)

About Us

Inspira Media adalah Media Holding yang bergerak di bidang content creator, content management, serta distribusi informasi dan hiburan melalui berbagai platform.