BANDUNG INSPIRA – Kawan Kopi Ciumbuleuit meluncurkan program bertajuk Kawan Sharing, sebuah inisiatif untuk memberikan akses konsultasi psikologi gratis bagi pengunjung. Acara perdana digelar pada Minggu (18/05/2025) yang dikemas dalam bentuk talkshow santai bersama psikolog klinis.
CMO Kawan Kopi, Fauker Muhammad, menyebut program ini lahir dari survei terhadap pelanggan yang mayoritas anak muda usia 25-an yang menjadi masa transisi. Hasilnya, isu kesehatan mental menjadi salah satu keluhan tertinggi.
“Banyak masalah mereka tidak punya akses ke psikolog, tidak tahu informasi mengenai psikolog. Terus banyak self-judgement sendiri, takut di-judge orang lingkungan tentang masalah mental. Jadi takut di-judge orang lingkungan bahwa kita sakit mental, padahal orang datang ke psikolog itu belum tentu sakit mental sebenarnya,” kata Fauker.
Selama enam hari sebelum acara inti, Kawan Kopi membuka sesi konsultasi gratis dengan psikolog untuk 24 peserta. Jumlah ini adalah hasil pemilihan secara acak dari 760 orang yang mendaftar. Antusiasme yang membludak ini juga menunjukkan besarnya kebutuhan akses terhadap psikolog.
Melihat respons besar tersebut, Fauker menyatakan pihaknya tengah merancang edisi lanjutan Kawan Sharing dengan kapasitas lebih besar dan kolaborasi bersama biro-biro psikologi.
“Kita tarik yang tadinya formal lebih ke friendly di coffee shop ya gitu sih. Jadi lebih enjoy lah buat mereka memulai pertama kali datang ke psikolog gitu,” ujarnya.
Psikolog Rahmatika Septina yang menjadi pembicara utama juga mengapresiasi konsep ini. Ia juga berharap dengan adanya acara ini, masyarakat tidak lagi kebingungan kapan dan bagaimana harus ke psikolog.
“Banyak yang berani untuk mengekspresikan dirinya depan banyak orang kan ya, baru ketemu juga, berani membuka dirinya. Isu yang paling banyak sih cukup banyak tentang kecemasan,” ungkap Rahmatika.
Kawan Sharing menjadi bentuk nyata bagaimana ruang publik seperti kedai kopi bisa ikut berperan dalam isu kesehatan mental. Melalui pendekatan ringan dan ramah, Kawan Kopi berharap stigma terhadap psikolog perlahan bisa dikikis, dan konsultasi menjadi sesuatu yang lumrah, seperti memsan secangkir kopi. (Rifqi Sibyan Kamil)**
