Oleh: Masnurdiansyah
BANDUNG INSPIRA,- Sebulan berpuasa menjalankan perintah untuk menguji keimanan manusia, berperang melawan hawa nafsu, dan berlomba meraup amalan terbaik yang diberikan Sang Pencipta telah terlewati.
Dalam kurun waktu setahun sekali, tepatnya pada 1 Syawal seluruh umat muslim merayakannya dengan hati yang lapang dan gembira.
Takbir berkumandang disegala penjuru langit, mengisi kekosongan gelapnya malam di penutup bulan Ramadhan.
Umat Islam di bulan Syawal digolongkan oleh Allah SWT sebagai orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhilna waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin.
Melansir dari UIN Malang, hari raya Idul Fitri ada karena adanya shiyam Ramadhan. Maka dari itu, tidak ada nilai dan identitas ‘fitri’ jika tidak ada pelaksanaan shiyam Ramadhan.
Bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam Idul Fitri adalah sebuah nilai yang taka da batasnya. Bukan lagi sebagai rutinitas tahunan sebagai penggugur kewajiban, lebih dari itu Ramadhan adalah adalah nilai suci yang harus dijaga oleh setiap muslim.
Keistimewaan hari raya sejatinya berkaitan dengan ibadah penting dalam Islam. Hari raya idul fitri dirayakan setelah umat muslim menunaikan ibadah rukun islam keempat, yakni puasa selama satu bulan penuh.
Sementara hari raya Idul Adha, dirayakan kaum muslimin bersamaan rukun islam kelima, yakni ibadah haji yang ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin.
Ibnu Arabi, sebagaimana dalam Al Lisan, berkata, “Hari ‘ied disebut ‘ied karena senantiasa kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.” (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, hal. 309).
Maka seharusnya muslim memaknai Ramadhan dan Idul Fitri sebagai bentuk sukacita karena keutamaan dan karunia dari Allah SWT. .
Berbahagia karena keutamaan dan karunia yang diberikan Allah adalah perintah dalam Al Qur`an:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58).
Ini adalah bukti yang nyata jika hari raya merupakan hari kebahagiaan umat muslim yang terletak pada disyariatkannya amal ibadah yang mengandung nilai sosial, dan nilai ketaatan serta ketundukan kepada Allah sebagai tujuan utamanya.
Secara sederhana tujuan dari momentum ini adalah agar kebahagiaan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh kaum muslimin, termasuk orang-orang yang tidak berkecukupan.
Pada hari raya `idul fitri disyariatkan zakat fithri. Itu adalah sebuah bentuk ketaatan yang diikuti oleh makna kembali ke Fitra. Mengeluarkan harta dalam bentuk makanan kepada fakir miskin dengan ukuran yang telah ditentukan.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang hikmah syariat zakat tersebut:
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fitrah (berfungsi) untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan buruk, dan untuk memberi makan kepada fakir miskin.” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam al Irwa no: 843).
Kendati demikia, dalam Idul Fitri dianjurkan untuk menampakkan kebahagiaan dan bersenang-senang, namun ada catatan yang harus digaris bawahi disini. Bukan berarti pada hari raya Idul Fitri kaum muslimin bebas melakukan perbuatan apa saja.
Kesenangan dan suka cita dalam bentuk mengungkapkan kebahagiaan di hari raya tetap harus berada pada koridor yang dibenarkan, bukan dengan perbuatan dan aktivitas maksiat.
Perbuat yang mengarah kepada maksiat di hari raya sama dengan menodai kesucian dari sebuah bentuk nilai ‘fitri’.
Sejatinya manusia diciptakan untuk beribadah kepada tuhan, taat dalam menjalankan perintah Allah SWT. Besarnya karunia yang diberikan Allah SWT kepada muslim, untuk menunaikan segala bentuk perintah-Nya. (MSN)