BANDUNG INSPIRA – Berkembangnya informasi berbasis internet, menggiring tumbuhnya beragam platform media sosial, bahkan informasi pun tersebar dengan bebas. Berdasarkan
riset KPID, generasi X, Y, dan Z merasa cemas terhadap konten-konten negatif seperti kekerasan, pornografi, LGBT, hoaks, dan lainnya.
Atas dasar itu, menyoroti kekhawatiran masyarakat Jawa Barat terhadap Pkonten berbasis internet yang tidak memiliki regulasi ketat, KPID Jabar mendorong pemerintah untuk segara merevisi UU Penyiaran.
Menurut Ketua KPID Jabar, Adiyana Slamet, revisi penting untuk melindungi masyarakat dari konten media berbasis internet yang tidak terawasi, sekaligus menyelamatkan keberlangsungan lembaga penyiaran konvensional.
“Kenapa revisi penting? Karena lembaga penyiaran dalam demokrasi memiliki dua ruang, yakni politik dan ekonomi. Lembaga penyiaran adalah tiang keempat demokrasi. Di negara lain, lembaga penyiaran bahkan sudah menjadi alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara,” tegas Adiyana di Kantor KPID Jabar, Senin (16/12/2024).
Untuk itu, KPIDJawa Barat mendorong pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Masyarakat ingin negara hadir dengan regulasi yang ketat untuk mengawasi konten-konten di media berbasis internet. Negara harus melindungi rakyatnya dari dampak buruk konten tersebut,” katanya.
Lebih jauh ia menjelaskan, UU Nomor 32 Tahun 2002 saat ini hanya mengatur televisi dan radio, sementara media berbasis internet bebas meraup keuntungan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kognisi masyarakat.
“Ini tidak adil, apalagi jika bicara soal kepentingan nasional, tujuan negara, dan melindungi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,” tutur Adiyana.
Ia juga melihat dampak media berbasis internet terhadap keberlangsungan lembaga penyiaran. Diakuinya, ibarat situasinya seperti pertandingan sepak bola yang tidak adil.
“Ada dua tim sepak bola, yang satu diikat aturan, yang satu bebas. Mana yang menang? Lembaga penyiaran taat aturan, sementara media berbasis internet tidak, dan wasitnya (negara) diam saja,” papar Adiyana.
Ia menyebut tiga ancaman utama bagi lembaga penyiaran, yakni persaingan ekonomi, ruang kreasi, hingga regulasi lokal yang dibuat platform media berbasis internet.
Contohnya, selama ini iklan yang masuk ke media berbasis internet tanpa aturan jelas, sementara lembaga penyiaran konvensional harus membayar pajak dan izin operasional.
Selanjutnya, konten di media berbasis internet lebih banyak dikuasai pihak asing, sehingga ruang kreasi anak bangsa kalah bersaing. Tak kalah penting, platform media berbasis internet juga memiliki aturan komunitas lokal yang justru memengaruhi kebijakan negara, bukan sebaliknya.
Adiyana juga mengingatkan, revisi UU Penyiaran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di Komisi I DPR RI pada 2025. Karena itu, ia mendorong seluruh pihak, termasuk lembaga penyiaran, untuk mendukung percepatan revisi UU tersebut.
“Merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 adalah langkah penting untuk menyelamatkan anak-anak bangsa, apalagi kita menghadapi bonus demografi 2030 dan Indonesia Emas 2045. Negara harus hadir sebagai wasit yang adil,” tandasnya.**