YOGYAKARTA INSPIRA – Pusat Studi Hukum, Pembangunan, dan Masyarakat (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) baru-baru ini mengadakan acara bedah buku yang menarik perhatian banyak kalangan di EastParc Hotel Yogyakarta, Sabtu (5/10/2024).
Acara ini membahas buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang diterbitkan oleh CLDS FH UII bekerja sama dengan PT Raja Grafindo Persada (Rajawali). Buku tersebut menyoroti proses persidangan yang dianggap penuh kekhilafan dalam kasus tindak pidana korupsi Mardani H. Maming.
Para ahli hukum terkemuka turut mengahadiri acara tersebut, termasuk Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Prof. Dr. Yos Johan Utama, dan Prof. Dr. Topo Santoso, yang semuanya memberikan pandangan mendalam terkait putusan pengadilan terhadap Mardani H. Maming. Tim eksaminator yang terdiri dari berbagai pakar hukum juga terlibat dalam penyusunan buku ini, seperti Prof. Dr. Ridwan Khairandy, Dr. Mudzakkir, dan Dr. Eva Achjani Zulfa. Dalam diskusinya, Prof. Dr. Romli Atmasasmita menyoroti sejumlah kekeliruan yang terjadi dalam putusan pengadilan.
“Setelah melakukan kajian hukum atas putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Kasasi, dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut dibangun dengan konstruksi hukum yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yang ada di persidangan,” ujar Romli.
“Putusan yang diambil lebih didasarkan pada asumsi dan imajinasi daripada fakta konkret yang terungkap di persidangan,” tambah Romli.
Lebih lanjut, Prof. Romli menjelaskan bahwa dakwaan terhadap Mardani H. Maming tidak didukung oleh bukti yang memadai. Ia menyatakan bahwa tuduhan penerimaan uang terhadap terdakwa sebenarnya merujuk pada tagihan perusahaan berdasarkan perjanjian kerja sama yang sah dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Dakwaan ini tampak dipaksakan, karena fakta di persidangan justru menunjukkan bahwa transaksi yang terjadi merupakan kewajiban perusahaan yang sah sesuai perjanjian,” jelas Romli.
Menurut Prof. Romli, jika memang ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, maka pelanggaran tersebut lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana
“Penerapan UU Tipikor secara serampangan dapat menciptakan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pasal 14 UU Tipikor, yang sebenarnya bertujuan membatasi ruang lingkup penerapan hukum pidana korupsi agar tidak disalahgunakan,” ujar Romli.
Prof. Romli juga menegaskan bahwa putusan kasasi dalam kasus ini secara kasat mata mengandung kekhilafan yang nyata dan memenuhi alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Ia menjelaskan bahwa terdapat fakta baru yang tidak pernah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya, dan fakta tersebut seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi Mahkamah Agung untuk membebaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum.
“Hal ini adalah contoh bagaimana kesalahan dalam proses peradilan dapat berakibat fatal bagi keadilan bagi seorang terdakwa,” imbuhnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Yos Johan Utama juga menambahkan pandangannya terkait ketidakcermatan dalam proses hukum yang terjadi. Menurutnya, pemberian izin usaha yang dilakukan oleh Mardani H. Maming sebagai Bupati Tanah Bumbu telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
“Tindakan Mardani dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) telah memenuhi semua syarat administrasi yang ditetapkan, sehingga tidak seharusnya dianggap sebagai tindakan melanggar hukum,” kata Yos.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Topo Santoso menyoroti kekurangan dalam proses penuntutan, di mana pihak yang dituduh sebagai pemberi suap, Alm. Hendry Setio, tidak pernah diperiksa.
“Bagaimana mungkin dakwaan suap dapat dibuktikan tanpa adanya pemeriksaan terhadap pihak pemberi suap?” kata Topo.
Ia juga menambahkan bahwa dalam dakwaan, jaksa bahkan menyebut adanya “kesepakatan diam-diam” antara pihak-pihak terkait, yang dalam hukum pidana tidak dikenal. Hal ini menunjukkan lemahnya bukti dan dasar hukum yang digunakan dalam perkara ini.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam eksaminasi ini adalah penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap dugaan pelanggaran administratif. Selain paparan para pembicara, diskusi juga memperlihatkan bagaimana pentingnya peran para penegak hukum untuk berpegang pada prinsip kehati-hatian dan kesesuaian bukti dalam setiap proses hukum.
Dr. Eva Achjani Zulfa, salah satu anggota tim eksaminator, menyampaikan penegakan hukum yang tidak berdasarkan bukti konkret akan mencederai rasa keadilan masyarakat dan dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Melalui bedah buku ini, CLDS FH UII berupaya mengkritisi proses peradilan dalam kasus-kasus yang melibatkan dugaan korupsi, sekaligus memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia. Buku ini memberikan perspektif baru tentang pentingnya memastikan bahwa putusan pengadilan didasarkan pada bukti yang jelas dan fakta yang terungkap selama persidangan.
Dengan adanya kajian kritis ini, diharapkan ke depannya tidak ada lagi putusan yang dibuat berdasarkan asumsi tanpa bukti yang cukup. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Yos Johan Utama.
“Sistem peradilan kita harus memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan yang matang, berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga keadilan bagi semua pihak dapat terwujud,” ujarnya.**