BANDUNG INSPIRA – Pada hari Kamis pagi tanggal 7 September, aparat keamanan menerobos masuk ke dalam kampung adat dengan tujuan untuk memasang patok batas. Saat mereka mulai masuk, sejumlah warga setempat melemparkan batu ke arah mereka. Kemudian disambut oleh aparat dengan menembakkan gas air mata.
Sebanyak 16 kampung adat yang terletak di wilayah Rempang Galang, Kepulauan Riau, menghadapi ancaman serius terkait dengan pelaksanaan proyek strategis nasional yang dikenal dengan sebutan Rempang Eco City. Proyek tersebut mengakibatkan penggusuran dan perubahan besar terhadap kampung-kampung adat tersebut.
Aparat gabungan terus masuk dan menangkap sejumlah warga yang terlibat dalam situasi tersebut. Selain itu, mereka juga memasuki area sekolah seperti SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Gas air mata pun digunakan dan ditembakkan menuju area sekolah-sekolah tersebut.
Insiden bentrokan terjadi ketika aparat gabungan yang terdiri dari TNI dan kepolisian memaksa untuk memasuki kawasan kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Akibatnya, terdapat enam warga di dalam kampung tersebut ditahan, dan sejumlah warga lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami dampak dari tembakan gas air mata.
Ariastuty Sirait, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, mengungkapkan bahwa warga yang mengaku mewakili warga Rempang telah melemparkan batu terlebih dulu dan botol kaca ke arah petugas keamanan yang hendak memasuki wilayah kampung adat tersebut.
“Informasi dari tim di lapangan, sudah ada beberapa oknum provokator yang ditangkap pihak kepolisian. Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan,” ujar Ariastuty, seperti dilansir dari kantor berita Antara.
Badan Pengusahaan (BP) Batam mengatakan bahwa proyek ini dilakukan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini. Karena mereka khawatir akan kehilangan ruang hidupnya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dengan tegas mengungkapkan bahwa Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang bertanggung jawab sebagai pengelola kawasan, telah menjalankan serangkaian sosialisasi. Langkah-langkah tersebut mencakup proses musyawarah, persiapan untuk relokasi, serta pemberian kompensasi kepada masyarakat yang telah memanfaatkan lahan tersebut sebelumnya.
Warga Menolak Direlokasi
Jumlah penduduk masyarakat adat yang akan terdampak dari pelaksanaan proyek Rempang Eco City diperkirakan berkisar antara 7.000 hingga 10.000 orang.
Gerisman Ahmad, Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, telah menyampaikan bahwa penduduk kampung adat tidak menolak terhadap proyek pembangunan tersebut. Tetapi, mereka menolak untuk dipindahkan atau direlokasi.
Namun, tidak memungkinkan jika kawasan industri dibangun berdampingan dengan pemukiman warga. Rencananya warga akan direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang.
Masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan hak huni dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, ada yang termasuk dalam kategori warga kampung lama yang berada di luar wilayah hutan negara (APL). Kedua, terdapat warga kampung lama yang berada di dalam wilayah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Dan ketiga, terdapat warga yang berada di luar wilayah kampung lama di dalam wilayah APL.
Pemerintah pusat telah merancang proyek ini melalui kerjasama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Berdasarkan penjelasan BP Batam, proyek ini menyiapkan Pulau Rempang untuk mengembangkan Pulau Rempang sebagai Mesin Ekonomi Baru Indonesia.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kemampuan bersaing Indonesia dalam persaingan dengan Malaysia dan Singapura. (yunda)**