Mau ke Mana Arah Zakat di Indonesia?
Oleh: Nur Efendi
Board of Trustees Rumah Zakat, Praktisi Filantropi Islam
DI tengah ketimpangan ekonomi yang masih nyata, zakat hadir sebagai solusi khas Islam yang menggabungkan spiritualitas dan keadilan sosial. Zakat bukan sekadar kewajiban keagamaan, melainkan juga mekanisme redistribusi kekayaan yang adil dan terorganisir. Sejak masa awal Islam, zakat telah memainkan peran penting dalam menciptakan keseimbangan sosial, memperkuat solidaritas, dan memberdayakan kelompok rentan. Dalam konteks negara modern, zakat harus dimaknai sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Indonesia, dengan lebih dari 242 juta penduduk Muslim (BPS, 2024), memegang amanah besar dalam mengelola potensi zakat sebagai instrumen keuangan sosial umat. Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp327 triliun per tahun (BAZNAS, 2024). Namun, hingga tahun 2024, realisasi penghimpunannya baru mencapai sekitar Rp41 triliun, atau sekitar 13% dari total potensi. Kesenjangan ini mencerminkan bahwa zakat, sebagai kekuatan ekonomi umat, belum dikelola secara optimal. Belum terbangun sistem yang mampu menghubungkan potensi besar zakat dengan kebutuhan masyarakat secara efektif dan berkelanjutan.
Pertanyaannya, ke mana arah zakat Indonesia ke depan? Apakah zakat akan tetap menjadi instrumen karitatif yang bersifat jangka pendek? Ataukah mampu bertransformasi menjadi motor penggerak kesejahteraan yang sistemik, berkelanjutan, dan terukur? Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan refleksi mendalam terhadap kondisi dan tantangan pengelolaan zakat saat ini.
Tantangan pertama yang perlu diakui secara jujur adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola zakat. Banyak muzakki lebih memilih menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik karena dinilai lebih aman, cepat, dan sesuai dengan preferensi pribadi. Meskipun tren digital dan literasi keuangan meningkat, namun transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat belum sepenuhnya mampu menjawab keraguan masyarakat.
Hal ini berkaitan erat dengan tantangan kedua: dampak sosial zakat yang belum sepenuhnya terukur. Banyak program yang dijalankan tidak memiliki baseline data, indikator kinerja, ataupun mekanisme evaluasi dampak, sehingga zakat seringkali hanya terlihat sebagai bantuan konsumtif, bukan pemberdayaan jangka panjang. Data dari Laporan Pertanggungjawaban Zakat Nasional (LPZN) BAZNAS 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar dana zakat saat ini masih difokuskan pada program sosial seperti bantuan kemanusiaan, dakwah-advokasi, pendidikan, dan kesehatan. Sementara itu, alokasi untuk program pemberdayaan ekonomi, seperti dukungan modal usaha atau pelatihan keterampilan, masih tergolong minim. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peran zakat sebagai instrumen transformasi jangka panjang bagi mustahik belum sepenuhnya dimanfaatkan. Namun di sisi lain, hal ini membuka ruang besar untuk penguatan pendekatan zakat produktif yang berorientasi pada kemandirian dan keberlanjutan ekonomi umat.
Selain itu, kapasitas kelembagaan lembaga zakat belum merata. Ada lembaga besar yang sudah menjalankan transformasi organisasi secara modern dan profesional, tetapi banyak pula lembaga kecil yang belum memiliki SDM yang kompeten, sistem manajemen yang kuat, atau dukungan teknologi memadai. Kesenjangan ini menghambat akselerasi program zakat yang seharusnya bisa bergerak cepat dan adaptif terhadap dinamika sosial ekonomi. Apalagi jika dikaitkan dengan tantangan digitalisasi. Di tengah kemajuan teknologi, masih banyak lembaga zakat yang belum terdigitalisasi secara menyeluruh. Meski kanal daring sudah mulai digunakan dalam penghimpunan zakat, namun belum banyak lembaga yang memiliki sistem informasi terpadu untuk pencatatan, pelacakan, dan pelaporan secara real-time.
Yang tak kalah penting, kolaborasi antar pemangku kepentingan juga belum optimal. Ekosistem zakat nasional masih terfragmentasi. BAZNAS pusat dan daerah, LAZ nasional dan lokal, hingga kerja sama dengan pemerintah maupun swasta, cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi yang kuat. Padahal tantangan sosial yang kita hadapi kemiskinan struktural, pengangguran, ketimpangan pendidikan dan akses kesehatan hanya bisa diatasi dengan pendekatan kolaboratif dan lintas sektor.
Untuk itu, arah penguatan zakat nasional harus dibangun atas tiga fondasi utama: zakat yang impactful, trusted, dan collaborative. Pertama, Impactful, artinya zakat harus dirancang agar mampu memberikan dampak sosial dan ekonomi yang nyata dan terukur. Program zakat tidak cukup hanya memberikan bantuan sesaat, tetapi harus mengangkat martabat mustahik melalui program yang berkelanjutan: modal usaha, pelatihan keterampilan, beasiswa pendidikan, kesehatan, dan intervensi jangka panjang lainnya. Pengukuran dampak (impact measurement) harus menjadi bagian penting dalam setiap perencanaan program zakat.
Salah satu contoh keberhasilan pengelolaan zakat yang berdampak nyata dapat dilihat dari capaian BAZNAS pada tahun 2023. Melalui program yang dikelola secara profesional dan berbasis data, BAZNAS berhasil mengentaskan sebanyak 577.138 jiwa dari kemiskinan, termasuk 321.757 jiwa dari zona kemiskinan ekstrem (BAZNAS, 2023). Capaian ini menunjukkan bahwa pendekatan zakat yang terstruktur dan terukur mampu menghasilkan dampak sosial yang signifikan.
Hal serupa juga ditunjukkan oleh Rumah Zakat, yang secara konsisten mencatat tren positif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2019, sebanyak 13% penerima manfaat berhasil keluar dari garis kemiskinan. Persentase ini meningkat menjadi 15% pada tahun 2020 dan 2021, lalu naik lagi menjadi 19% pada tahun 2022. Puncaknya, pada tahun 2023, sebanyak 21% penerima manfaat tercatat telah bertransformasi menjadi individu yang lebih mandiri secara ekonomi. Data ini membuktikan bahwa program pemberdayaan yang dijalankan Rumah Zakat tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga berdampak nyata dalam mendorong kemandirian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, Trusted, yakni zakat yang dikelola secara transparan dan akuntabel sehingga menumbuhkan kembali kepercayaan publik. Lembaga zakat harus berani membuka laporan keuangan, audit eksternal, audit syariah, serta menghadirkan sistem pelaporan berbasis teknologi digital yang mudah diakses publik. Inovasi seperti dashboard digital zakat nasional, pelacakan dana berbasis QR code, dan keterlibatan publik dalam monitoring dapat memperkuat rasa percaya dan keterlibatan masyarakat.
Ketiga, Collaborative, yaitu zakat sebagai kerja bersama lintas lembaga dan sektor. Kolaborasi antara lembaga zakat, kementerian dan lembaga pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha, komunitas, dan akademisi harus diperkuat untuk membangun ekosistem zakat yang saling menopang. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam tata kelola zakat, maka semakin luas jangkauan dan dampaknya. Zakat bukan hanya urusan BAZNAS atau LAZ, tetapi tanggung jawab kolektif dalam pembangunan umat. Salah satu contoh nyata kolaborasi multipihak adalah Program Kampung Zakat yang digagas oleh Kementerian Agama bersama BAZNAS dan LAZ, bekerja sama dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan komunitas lokal. Hingga Januari 2023, program ini telah menjangkau 514 titik lokasi dengan fokus pada pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan keagamaan. (Kemenag 2023). Keberhasilan model kolaboratif ini menunjukkan bahwa zakat akan jauh lebih efektif bila dikelola secara lintas sektor dan terintegrasi dengan program pembangunan pemerintah maupun inisiatif masyarakat.
Untuk menjawab ketiga prinsip utama impactful, trusted, dan collaborative diperlukan dua arah penguatan strategis: pertama, penguatan kapasitas kelembagaan, dan kedua, percepatan transformasi digital. Penguatan kelembagaan mencakup peningkatan kualitas tata kelola lembaga zakat yang adaptif terhadap perubahan zaman. Ini meliputi pengembangan sumber daya manusia yang kompeten, penerapan prinsip lean management, penguatan manajemen risiko, hingga peningkatan profesionalisme para amil. Untuk mendukung transformasi ini, dibutuhkan standarisasi mutu nasional, serta sistem insentif dan pengukuran kinerja yang mendorong lembaga zakat tumbuh secara berkelanjutan dan akuntabel. Sementara itu, transformasi digital tidak lagi bisa dipandang hanya sebagai alat bantu, melainkan harus menjadi strategi inti dalam pengelolaan zakat modern. Mulai dari proses penghimpunan hingga penyaluran, dari verifikasi mustahik hingga pelaporan dampak, digitalisasi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kepercayaan publik. Digital tidak dapat menggantikan trust, brand, dan service. Namun, di era ini, ketiganya tidak akan tercipta secara maksimal tanpa dukungan digital. Dengan kata lain, digital adalah fondasi kepercayaan dan diferensiasi lembaga zakat di masa depan.
Dengan semangat pembaruan ini, Indonesia berada pada posisi strategis untuk menjadi pusat rujukan zakat dunia Islam. Di satu sisi, kita memiliki potensi demografis dan religius yang besar; di sisi lain, infrastruktur hukum dan kelembagaan kita sudah mapan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Inovasi program seperti Desa Berdaya, Zakat Community Development (ZCD), Kampung Zakat, hingga Digital Zakat Platform telah menjadi perhatian banyak negara muslim. Lebih dari itu, model kolaborasi multipihak yang melibatkan pemerintah, BAZNAS, LAZ, dunia bisnis, komunitas, akademisi, dan media juga menjadi kekuatan unik yang dapat direplikasi secara global. Bila seluruh potensi ini terus dikembangkan dan dikonsolidasikan, Indonesia bukan hanya akan dikenal sebagai negara dengan jumlah muzakki terbesar, tetapi juga sebagai pemimpin global dalam pengelolaan zakat yang impactful, trusted, memiliki tata kelola yang baik, kolaboratif, dan adaptif terhadap tantangan zaman.


