Wartawan Sedunia Didesak Bersuara Demi Para Jurnalis Palestina
BANDUNG INSPIRA – Di tengah hiruk pikuk perang yang tak kunjung usai, ada suara-suara yang berusaha tetap lantang, meski setiap kata yang mereka tulis bisa saja menjadi kata terakhir.
Mereka adalah jurnalis Palestina — saksi mata yang merekam kepedihan, kemarahan, dan secercah harapan di tanah yang terus bergejolak.
Namun, di Gaza, menjadi jurnalis bukan sekadar profesi. Nyawa taruhannya. Kementerian Luar Negeri Palestina pada Selasa (12/8/2025) menyebut Israel sebagai “pembunuh wartawan paling berbahaya” di dunia. Sebanyak 230 jurnalis di Gaza tewas akibat serangan yang disebut sebagai kebiadaban sistematis.
“Ini adalah upaya untuk membungkam semua saksi mata genosida dan mengubur bukti kejahatan mereka,” tulis Kemlu Palestina di platform X.
Serangan terhadap jurnalis, menurut Palestina, bukanlah insiden terisolasi. Itu adalah bagian dari strategi panjang. Pembersihan etnis terencana, menargetkan mereka yang berani menyalakan obor kebenaran.
Empat nama kembali menambah daftar panjang korban. Pada Minggu (10/8/2025), jurnalis Anas Al Sharif dan Mohammed Qreiqeh, bersama juru kamera Ibrahim Zaher dan Mohammed Noufal dari Al Jazeera, tewas saat tenda mereka di depan RS Al Shifa dihantam roket Israel. Mereka sedang berada di garis depan, bukan sebagai prajurit, tetapi sebagai saksi.
“Mereka adalah pahlawan yang seharusnya dihormati, bukan dihina,” ujar Kemlu Palestina.
Seruan itu tidak hanya ditujukan untuk dunia internasional, tetapi juga untuk setiap jurnalis dan asosiasi pers sedunia. Palestina meminta mereka bersuara, menolak narasi bohong, melawan propaganda yang merendahkan martabat dan legitimasi jurnalis Palestina.
Di bawah bayang-bayang ancaman, para wartawan Gaza tetap memegang kamera dan pena mereka erat-erat. Setiap detik mereka tahu, sebuah bidikan lensa atau ketukan keyboard bisa mengundang peluru. Namun, bagi mereka, menyampaikan kebenaran adalah tugas yang terlalu suci untuk diabaikan. (Tim Berita Inspira) **


