HEALTH INSPIRA – Self-diagnosis merupakan kegiatan seseorang dalam mendiagnosis diri sendiri terhadap sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri. Ketika melakukan self-diagnosis, sebenarnya kamu sedang berpikir seolah-olah kamu mengetahui masalah kesehatan yang dialami. Seluruh asumsi hanya dengan berbekal informasi yang dimiliki diri sendiri. Hal ini bisa berbahaya, sebab asumsi kamu tersebut belum tentu benar.
Misalnya, ketika kamu berasumsi mengidap gangguan bipolar, karena sering mengalami perubahan suasana hati. Padahal perubahan suasana hati bisa menjadi gejala dari banyak gangguan kesehatan mental yang berbeda. Gangguan kepribadian ambang dan depresi berat adalah dua contoh diagnosis lainnya.
Nah, dengan salah mendiagnosis diri sendiri bisa berbahaya, lantaran kamu cenderung mengambil pengobatan yang salah. Risiko mengalami kondisi kesehatan yang lebih buruk pun bertambah besar bila kamu sembarangan mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan dokter.
Itulah mengapa kamu disarankan untuk konsultasi kepada tenaga ahli medis seperti dokter untuk mendiagnosis gejala kesehatan yang dialami. Dengan menanyakan lebih detail tentang gejala yang dialami dan berapa lama gejala tersebut berlangsung, dokter dapat membuat diagnosis yang tepat.
Baca juga Gempa Magnitudo 7,8 Guncang Turki, Terasa Sampai Ke Israel
Bahaya Self-Diagnosis
Terdapat beberapa bahaya nyata yang dapat timbul terkait perilaku mendiagnosis diri sendiri alias self-diagnosis. Berikut beberapa di antaranya.
1. Diagnosis yang salah
Beberapa gangguan kesehatan, baik mental maupun fisik, dapat memiliki gejala yang serupa. Salah satu contohnya yaitu batuk. Batuk dapat menjadi tanda dari beragam masalah kesehatan, mulai dari flu hingga gangguan pernapasan. Bahkan, ada juga yang mengalami batuk yang disebabkan oleh asam lambung naik. Ketika mengira-ngira apa yang terjadi pada diri kamu, bisa jadi perkiraan tersebut meleset dari yang sebenarnya. Akibatnya, kamu tidak mendapatkan pengobatan yang tepat.
2. Masalah yang lebih serius tidak terdeteksi
Gejala psikologis yang kamu alami bisa jadi merupakan dampak dari masalah kesehatan fisik. Misalnya, apa yang kamu kira sebagai serangan panik mungkin diakibatkan oleh detak jantung yang tidak beraturan atau masalah pada kelenjar tiroid. Pada contoh kasus lainnya, tumor otak dapat memengaruhi bagian otak yang mengatur emosi dan kepribadian orang yang mengidapnya. Orang yang melakukan self-diagnosis mungkin mengira dirinya sedang mengalami gangguan kepribadian, padahal ada tumor berbahaya yang bersarang dalam otaknya.
3. Salah minum obat
Jika kamu menetapkan diagnosis yang tidak tepat, kemungkinan pengobatannya juga akan salah. Risiko terhadap kesehatan pun bertambah besar jika kamu mengonsumsi obat secara asal atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan secara medis. Sekalipun ada obat yang tidak berbahaya, namun jika obat yang dikonsumsi tersebut tidak terpat tentu tidak akan menyembuhkan keluhan yang kamu alami. Sebagai gambaran, obat antidepresi tidak akan mampu mengatasi gejala depresi bila penyebab yang mendasarinya berasal dari tumor pada otak.
Baca juga Gubernur Ridwan Kamil akan Desain Medali Pocari Sweat Run 2023
4. Memicu masalah yang lebih parah
Self-diagnosis terkadang mengakibatkan masalah kesehatan yang sebenarnya tidak sedang kamu alami. Sebagai contoh, saat ini kamu mengalami insomnia yang sebenarnya disebabkan konsumsi kafein berlebihan. Akan tetapi, semua informasi yang kamu dapat dari sekitar menyatakan bahwa gangguan tidur ini menandakan gangguan mental, seperti depresi. Apabila kamu terus-menerus merasa khawatir, kamu malah makin berisiko mengalami depresi yang awalnya tidak terjadi.
Jadi, sebaiknya jangan menjadi dokter bagi diri sendiri dengan melakukan self-diagnosis. Bila kamu mengalami gejala kesehatan tertentu, sebaiknya tanyakan pada dokter mengenai penyebab gejala kesehatan yang kamu alami.
^^Putri Nurul
Sumber : Halodoc.com