Bandung Inspira – Maraknya aksi perundungan dan tawuran kembali terjadi dilingkungan pendidikan. Mirisnya, tak sedikit para pelajar menjadi pelaku maupun korban atas tindakan perundungan itu.
Melihat kondisi tersebut, hadirlah sebuah aplikasi yang diharapkan dapat memininalisir aksi perundungan serta tawuran pelajar. Tidak hanya itu, aplikasi tersebut juga dihadirkan untuk menjadi wadah para korban atas tindakan perundungan.
Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, Yesa Sarwedi mengatakan, hadirnya aplikasi Sistem Terintegrasi Olah Pengaduan Perundungan (Stopper) berguna untuk mencegah kasus perundungan yang kerap melibatkan para pelajar maupun guru.
“Jadi perundungan di sekolah bisa dilaporkan oleh anak maupun guru sehingga semua pihak bisa mengetahui,” kata Yesa dalam diskusi Galang Aspirasi Politik (Gaspol) oleh Pokja PWI Gedung Sate di Hotel Citarum, Kota Bandung, Senin (20/3).
Dijelaskannya, sejak diluncurkan pada Februari 2023, ada 8 kasus yang dilaporkan ke Stopper. Dari kasus tersebut, Disdik Jabar akan mempelajari hal itu dan tentunya yang menjamin kerahasiaan identitas pelapor.
“Kita jaga (identitas) dan ini kita pelajari dan didistribusikan melalui kantor cabang dinas ke sekolah. Kasus bervariasi, dari 8 ini ada enam laki-laki, dua perempuan,” ucapnya.
Setelah diverifikasi oleh pihak sekolah dan pelapor, kata Yesa, pihaknya akan memberikan sanksi berupa teguran kepada pelaku perundungan. Kemudian, mediasi yang melibatkan orang tua, pelaku, dan sekolah juga akan dilakukan.
“Sanksinya pembinaan, termasuk guru, tapi kalau fisik ya biasanya berunding dengan orang tua baik pelaku dan korban orang tua. Artinya bisa masuk ranah hukum,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi V DPRD Jabar, Sri Rahayu Agustina menambakan, hadirnya Stopper ini bisa dikolaborasikan dengan Perda Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
“Saya harapkan program ini bukan hanya program seremonial. Tapi program yang benar-benar bisa dirasakan oleh siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah,” papar Agustina.
Diyakininya, untuk menangani kasus kekerasan maupun perundungan di tingkat pelajar ini harus ditambah dengan adanya psikolog dan cara penanganannya di sekolah.
“Artinya kan sudah diselesaikan di sekolah melalui program ini. Ketika terjadi di luar dari sekolah, harus seperti apa? Apakah masuk ke ranah hukum? Kalau masuk, seperti apa. Ini harus dipahami,” ujarnya.
“Kesiapan dari program ini harus bersinergi dengan stakeholder lainnya seperti DP3AKB dan memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah melalui rapat dengan orang tua murid, paguyuban juga bisa diundang,” kata dia menambahkan.
Selain itu, lanjutnya, sosialisasi mengenai adanya aplikasi Stopper ini harus digencarkan. Sebab, tanpa sosialisasi yang masif program sebaik apa pun tidak akan berhasil.
“Ketika program ini tidak disosialisasikan maka orang tua tidak tahu adanya program Stopper. Itu yang paling penting. Karena pasti yang akan melaporkan perundungan adalah pihak dari orang tua,” beber Agustina.
Sementara, Ketua Lembaga Bantuan Pemantauan Pendidikan (LBP2), Asep B. Kurnia mengatakan, Disdik Jabar ada baiknya tidak hanya fokus pada siswa-siswi saja melainkan guru juga harus diperhatikan.
“Tidak hanya berfokus bullying pada siswa, tapi juga guru. Sikap anak terhadap guru zaman sekarang seperti apa. Bully bisa terjadi terhadap gurunya,” tandas Asep. (Tri Widiyantie) **