Ruang Teduh yang Tersakiti: Ketika Gas Air Mata Menembus Lingkungan Kampus
LINGKUNGAN kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi dialog, pertukaran gagasan, dan tumbuhnya tradisi intelektual. Namun, peristiwa penembakan gas air mata ke arah kampus baru-baru ini mencoreng wajah pendidikan tinggi kita.
Ya, Senin (1/9/2025) malam, menjadi saksi suram ketika gas air mata menghantam wilayah sekitar Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) di Jalan Tamansari, Kota Bandung.
Menurut laporan LPM Suara Mahasiswa Unisba, peristiwa bermula ketika mahasiswa tengah beristirahat pasca-aksi demonstrasi di DPRD Jawa Barat sekitar pukul 23.40 WIB.
Tiba-tiba, iring-iringan aparat polisi dari arah Balubur Town Square menembakkan gas air mata tanpa peringatan. Gas tersebut menghantam gerbang, halaman, bahkan tubuh tak bersenjata yang berlindung di dalam kampus.
Korban mulai berdatangan ke posko kesehatan dalam kampus. Unisba mencatat penanganan terhadap 208 korban antara 29–31 Agustus, lalu 62 tambahan korban pada malam kejadian. Di Unpas, tercatat 12 mahasiswa pingsan akibat gas air mata dan kemudian dievakuasi ke dalam kampus.
LBH Bandung, sebagai institusi yang memantau langsung, mencatat adanya 147 orang ditangkap selama demonstrasi, termasuk 37 anak di bawah umur.
Mereka juga menyoroti penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa, yang menyebabkan sekitar 332 korban luka-luka, mulai dari sesak napas, luka ringan hingga berat.
Aparat berargumen, gas ditembakkan ke jalan raya, bukan kampus. Mereka mengeklaim gas hanyalah tertiup angin dan menembus kampus tanpa disengaja. Namun, narasi ini kontras dengan rekaman kamera amatir dan CCTV serta kesaksian langsung mahasiswa yang menyebut gas benar-benar menyasar ruang akademik.
Peristiwa tersebut bukan hanya meninggalkan trauma bagi mahasiswa, dosen, dan masyarakat sekitar, tetapi juga mengirimkan sinyal berbahaya tentang bagaimana negara merespons dinamika aspirasi warga.
Tindakan represif di wilayah kampus tidak bisa dibenarkan. Kampus bukan arena konflik militer, melainkan taman ilmu yang seharusnya dihormati sebagai “ruang teduh” bagi demokrasi.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto bahkan menegaskan, lingkungan kampus harus bersih dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perundungan fisik maupun psikis.
Ia menekankan pentingnya menjaga kampus sebagai ruang aman dan memastikannya tetap menjadi ruang akademik yang bebas dari tindakan represif, dengan mengutamakan dialog dan langkah persuasif .
Selain itu, Permendikbudristek Nomor 55/2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi juga menegaskan, perguruan tinggi harus menciptakan lingkungan yang ramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari kekerasan.
Gas air mata yang dilepaskan ke lingkungan akademik sama artinya dengan menutup ruang dialog, mematahkan semangat kritis, serta mengikis rasa percaya antara generasi muda dan aparat negara.
Kita tentu tidak menutup mata terhadap potensi gesekan saat demonstrasi berlangsung. Namun, penyikapan yang mengedepankan tindakan koersif, justru memperbesar jarak antara aparat dan masyarakat sipil.
Padahal, tugas utama aparat keamanan adalah menciptakan ketertiban dengan pendekatan persuasif, humanis, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pemerintah dan aparat perlu mengevaluasi secara serius prosedur penanganan massa, terutama di kawasan vital seperti lingkungan pendidikan. Di sisi lain, mahasiswa dan masyarakat sipil hendaknya tetap menyuarakan aspirasi secara damai, tanpa provokasi maupun tindakan destruktif.
Kasus ini hendaknya menjadi titik balik: negara harus belajar bahwa menjaga wibawa hukum dan keamanan tidak bisa dilakukan dengan intimidasi, melainkan dialog, keterbukaan, dan penghormatan pada ruang-ruang demokrasi. Kampus adalah rumah bagi nalar, bukan sasaran gas air mata. (Gin)


