KAB. PURWAKARTA INSPIRA – Pemkab Purwakarta mengangkat 400 tenaga honorer untuk menjadi guru Agama Keagamaan dan Pendalaman Kitab (AKPK), pasalnya Pendidikan Agama yang hanya 3 jam dalam seminggu bisa lebih optimal diberikan kepada siswa didik. Hal itu diungkapkan Sekertaris Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta Sadiyah, diakuinya program AKPK sangat penting bagi ini bagi pemerintah Daerah.
“Pendidikan agama tidak cukup tiga jam oleh karenanya pemerintah kabupaten mengangkat hampir 400 guru AKPK guru agama dan pendalaman kitab-kitab. Jadi ada guru sesuai agamanya masing-masing misal untuk murid beragama Islam diajar oleh guru agama Islam, atau agama Kristen dan agama lainnya,” ujar Sadiyah ditemui di ruang Sekda Kabupaten Purwakarta belum lama ini.
Menurutnya, untuk pendalaman kitab-kitab semisal kitab kuning biasanya diberikan pada siawa kelas tinggi, dan untuk yang beragama Kristen diberikan kepada anak-anak beragama Kristen yang ingin pendalaman pada kitab Injil.
Sementara itu, lanjutnya, pengangkatan guru tersebut menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkab Purwakarta dan itu dilakukan berdasarkan kebutuhan sekolah.
“Ya yang pendalaman kitab berbeda, misal kalau ada 10 anak di sekolah yang ada agama lain pasti disiapkan juga guru APKP-nya dan itu digaji bukan dari pusat tapi dari anggaran pemerintah daerah,” paparnya.
Namun kata Sadiyah, penerapan AKPK ini belum dilakukan di semua sekolah negeri karena keterbatasan anggaran, sehingga untuk sekolah negeri baru diterapkan di 75 sekolah. Sedang untuk sekolah swasta sudah ada 112 sekolah. Hal itu karena waktu pendalaman agama dan kitab di sekolah swasta lebih panjang apalagi banyak sekolah swasta yang berbasis Islam atau Kristen.
“Pendidikan agama ini dalam kurikulum nanti di sisipkan modul pembelajarannya insersi ke dalam kurikulum yang diajarkan misalnya gini,” tuturnya.
Masih kata Sadiyah, selain sekolah biasa. Pemkab Purwakarta pun memberi keberpihakan pendidikan bagi siswa penyandang disabilitas dengan mengembangkan pendidikan berbasis inklusi. Bagi sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus, maka pihaknya bekerjasama koordinasi dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
“Tidak semua sekolah punya guru BK atau basic sekolah luar biasa. Di tahun 2022, kita kerjasama kordinasi agar mengetahui bagaimana menghadapi anak inklusi. Karena anak ini tidak bisa disamakan dengan anak biasa,” ujarnya.
Sedari awal pada saat assessment ketika masuk diketahui apa kebutuhannya, semisal bagi tuna netra, tuna rungu, grahita atau anak disabilitas lainnya.
“Saat menentukan KKM misal 8, anak inklusi tidak segitu karena hidup sosialisasi dengan teman diterima dan mampu berdiri sendiri untuk bekal di masyarakat kelak itu dianggap sudah capai KKM bagi mereka, intinya kita tidak membedakan dan mereka berhak mendapat pendidikan. Sehingga keluarga tidak mengurung dirumah atau disembunyikan atau tidak bergaul, anak-anak ini harus dibantu,” tandas Sadiyah.**