Panji Sakti: Dari Nama, Nada, hingga Jejak Puitis dalam Musik
BANDUNG INSPIRA – Suara itu tak pernah datang dengan gegap gempita. Ia hadir lirih, mengalun pelan, lalu diam-diam menancap di hati pendengarnya. Begitulah musisi Panji Sakti melantunkan lagu. Bukan lewat teriakan, melainkan dengan bisikan yang puitis.
Dari gitar yang ia peluk, lahirlah lagu-lagu yang menjahit luka, menenangkan resah, sekaligus mengajarkan cara merawat doa. Setiap bait yang keluar dari bibirnya ibarat butir embun di ujung daun, jernih sekaligus menyimpan kesejukan. Panji tidak hanya menyanyi, tapi menyulam kata menjadi nada, dan nada menjadi rasa.
Di balik setiap nama, tentu ada riwayat. Terlahir dengan nama Panji Siswanto bin Suparlan bin Sastro, publik kini mengenalnya sebagai Panji Sakti. Nama itu lahir bukan dari hitungan pasar, bukan pula dari strategi panggung. Saat ditanya dari mana kata “Sakti” itu berasal, ia tersenyum tipis.
“Ada satu lagu dia (seorang teman) yang tidak selesai bertahun-tahun,” kenang Panji tentang momen awal yang membentuk identitas barunya. Lagu itu terhenti di tengah jalan, tak kunjung menemukan ujung. Hingga suatu hari, telepon masuk, permintaan datang. “Panji, lagu ini mau dipakai sama artis. Tapi lagunya belum selesai. Bisa nggak lu selesain?”
Permintaan itu terdengar mendesak. Tanpa banyak rencana, Panji mengiyakan. Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, lagu yang mangkrak bertahun-tahun itu selesai. “Dia yang main gitarnya, aku kasih melodi, kasih liriknya juga,” ceritanya.
Di balik kesederhanaan proses itu, lahirlah sesuatu yang tak disangka. Karena lagu tersebut cepat rampung, rekannya berseloroh: “Oh Edhun Sakti! Gimana ya?” Dari situlah Panji menimpali dengan spontan, “Ya sudah, Panji Sakti.”
Nama itu sederhana, bahkan nyaris seperti main-main. Namun justru dari kesederhanaan itulah sebuah identitas lahir. Sejak saat itu, kata “Sakti” melekat pada dirinya. Bahkan email pribadinya ikut mengusung nama baru tersebut. “Alus oge buat nama panggung, buat nama pena. Oke, Panji Sakti lah,” ujarnya sambil tersenyum.
Perjalanan Panji di dunia musik bukan tanpa alasan. Sejak remaja di SMA Negeri 1 Cimahi, dia sudah mencintai seni. Dari ekstrakurikuler Teater Kacang, Panji belajar menulis puisi yang ia tempelkan di dinding kamarnya. Dari kata-kata yang berserakan, lahirlah kebiasaan menggumamkan lagu.
Tahun 1995, Panji memilih melanjutkan studi di Seni Rupa IKIP Bandung. Cita-citanya sederhana: menjadi guru seperti ibunya. Tapi dunia seni selalu memanggil. Ia berpindah ke STSI (kini ISBI), tetap di jalur seni rupa, namun jiwanya tak pernah jauh dari musik dan teater. Dari masa-masa itu lahirlah kebiasaan memusikalisasi puisi kawan-kawannya, sebuah jalan yang kelak menjadi ciri khas Panji Sakti.
“Nggak ada milih, aku seni rupa apa, seni musik ya. Aku seni teater atau apa gitu yang harus aku dalami. Aku nggak pernah ada posisi sedang memilih kariernya mau apa nih. Itu nggak pernah. Sejak dulu saya memang ngerjain apa aja yang saya sukai. Saya menyenangi hal itu, terutama pembuatan lirik,” kata Panji.
Sebagai penyanyi sekaligus komposer, Panji dikenal dengan lirik-liriknya yang puitis dan syahdu. Musik Panji bukan sekadar kumpulan nada, melainkan pertemuan kata dan rasa. Dari sinilah lahir sebuah warna musik yang sulit didefinisikan secara kaku. Maka, ketika ditanya genre apa yang sesungguhnya ia usung, Panji seolah tak mau terjebak pada kotak sempit.
“Kalau teman-teman dengar laguku yang sekarang, ya itulah mungkin kalau misalnya harus diklasifikasi karya saya. Karya Panjinya yang mana? Ya karya yang teman-teman dengar hari ini aja. Itu kesukaan saya,” ujar Panji, dengan nada santai.
Meski begitu, pekerjaan sebagai penulis lagu membuatnya harus lentur. Dia terbiasa berpindah-pindah genre, menyesuaikan dengan siapa yang akan membawakan lagu ciptaannya. “Aku membuat lagu apapun. Ada R&B, ada pop, ada ballad, ada rock juga ada. Yang semi-semi dangdut juga aku bikin, yang semi-semi DJ juga aku bikin,” katanya.
Baginya, itu adalah konsekuensi dari profesi. Setiap kali label datang dengan permintaan, Panji menyiapkan diri untuk menyesuaikan. “Kalau Anda bekerja sebagai seorang penulis lagu, Anda harus sangat perhatian pada siapa lagu itu akan dinyanyikan,” jelas Panji.
Namun di luar semua pesanan itu, Panji tetap memiliki ruang pribadi. Ruang untuk berkarya sesuai isi hati.
“Lagu-laguku yang sekarang, nah itulah Panji lah. Tapi kalau misalnya ada pesanan pop, aku akan buat pop juga. Karena itu pekerjaan,” katanya tegas.
Hingga 2024, Panji telah melahirkan puluhan single. Dari semua lirik lagu yang dibuatnya, Panji tak pernah menunjuk satu judul tertentu. Baginya, tak ada karya yang lebih tinggi atau lebih rendah, tak ada lagu yang lebih layak dipuja dibanding lainnya. Semua lagu adalah anak-anak jiwanya, yang ia lahirkan dengan kesungguhan hati. Setiap lagu bagi Panji, memiliki napasnya sendiri.
Di balik lagu, selalu ada proses kreatif yang nyaris ritual. Panji pun mengaku lebih sering menulis lirik sendiri. Lantas, siapa sosok yang diam-diam menjadi sumber cahaya dalam perjalanan karyanya? Bagi Panji Sakti, inspirasi itu datang dari sejumlah nama besar yang telah lebih dulu menautkan kata dengan nada, menghadirkan musik bukan semata hiburan, melainkan ruang renungan.
“Kalau musik, saya suka dengar The Beatles. Kalau penulisan lagu, saya suka John Lennon, Paul, dari The Beatles. Kalau Kalau Indonesia, saya suka Mbak Melly Goeslaw, saya suka Ahmad Dhani madani, saya suka cara mereka nulis lagu. Kalau musik, saya suka Iwan Fals.
Bagi Panji Sakti, panggung bukan sekadar tempat menampilkan karya. Ia menyebut setiap penampilan sebagai momen spiritual, ruang pertemuan antara dirinya, lagu, dan hati para pendengar. Dari sekian banyak panggung yang pernah ia jajaki, ada beberapa yang meninggalkan jejak mendalam. Bukan karena gemerlap lampu atau riuh tepuk tangan, melainkan keintiman yang terbangun antara musisi dan audiens.
“Ya jadi saya pengin penonton-penontonku aware dengan apa yang saya sampaikan, gak cuma sekadar hiburan aja gitu. Karena bagiku panggung-panggung juga selain mereka datang untuk nonton aku mungkin sekedar menghibur, bagiku itu pelayanan. Bagiku naik ke atas panggung adalah aku sedang melayani penonton, aku sedang melayani orang yang datang,” ujarnya.
Kini, Panji Sakti bukan sekadar nama. Ia adalah perjalanan dari kamar remaja di Cimahi, ke panggung kecil, ke label besar di Malaysia, hingga menjadi musisi yang lagunya menemani banyak jiwa. Ia terus berkolaborasi, terus bernyanyi, dan terus menulis.
Namun satu hal yang tak pernah berubah: Panji selalu setia pada kata. Ia tahu, setiap bait puisi bisa tumbuh menjadi lagu, dan setiap lagu bisa menjadi doa. Di situlah mungkin letak keistimewaannya: Panji Sakti bukan hanya musisi, ia adalah penjaga kata yang menjelma suara. (Tim Berita Inspira) **
Keterangan Foto:
Musisi Panji Sakti dalam sebuah wawancara di Studio Inspira.Tv beberapa waktu lalu. (Foto: Dokumentasi Inspira)


