BANDUNG INSPIRA – Manusia dan alam memiliki hubungan timbal balik dan bersifat saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya. Sementara itu, alam membutuhkan manusia untuk menjaga dan melestarikan keberadaan alam serta sumber dayanya. Saat ini keadaan tersebut berjalan tidak seimbang. Manusia semakin mendominasi alam sehingga alam tidak diberi kesempatan untuk mempertahankan keberadaannya.
Banyak contoh kerusakan alam di berbagai belahan dunia mulai dari erosi, banjir, kekeringan hingga pencemaran sungai. Dari beberapa kasus kerusakan lingkungan, pencemaran sungai adalah yang paling dapat membuktikan adanya campur tangan manusia. Salah satu contoh adalah pencemaran sungai Citarum.
Sungai Citarum dalam kondisi normal sangat memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat, diantaranya untuk mengairi sawah dan kebun, tambak, dan kebutuhan MCK. Air di tiga bendungan DAS Citarum juga telah digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Plengan, Lamajang, Cikalong, Jatiluhur, Saguling, dan Cirata.
Mengingat begitu besarnya manfaat aliran sungai Citarum, pemerintah terus mengupayakan pelestarian wilayah di sepanjang aliran sungai Citarum. Upaya tersebut tentunya ikut melibatkan masyarakat sekitar. Proses pelibatan masyarakat dilakukan, diantaranya dengan cara melakukan sosialisasi kebersihan lingkungan, gotong royong, dan pengawasan rutin terhadap ekosistem terutama di pinggiran sungai. Upaya yang dilakukan tersebut kerap dilakukan. Namun demikian hasil yang diharapkan terkadang kurang berdampak pada pelestarian lingkungan di sungai Citarum. Tampak bahwa penekanan pelestarian di atas lebih banyak berkisar pada sisi sosial kemasyarakatan dan lingkungan alam, sementara dari sisi kebudayaan tampak kurang begitu tersosialisasi. Masyarakat patut mengetahui dan mengungkapkan “rasa menghargai” terhadap Citarum yang telah memberikan wilayahnya sebagai sarana pembentukan peradaban yang hingga kini dapat dilihat dari berbagai tinggalan warisan budaya di sepanjang DAS Citarum.
Nama “Citarum” dan jejak peradaban di sepanjang Sungai Citarum merupakan bagian dari identitas citarum sebagai sebuah aliran sungai yang pada zaman dahulu telah dimanfaatkan sebagai jalur ulang alik berbagai komoditi baik dari hulu maupun hilir. Interaksi antara masyarakat di hulu dan hilir pada mulanya hanya bertujuan untuk saling tukar komoditi. Dalam perjalanan sejarah, interaksi antara masyarakat di hulu dan di hilir kemudian turut pula mempengaruhi aspek sosial budaya yang beberapa di antaranya masih bertahan hingga kini dan menjadikannya sebagai warisan budaya benda dan takbenda pada DAS Citarum.
Jejak peradaban Citarum yang dibuktikan dengan adanya tinggalan warisan budaya benda dan takbenda merupakan aset budaya yang penting untuk diketahui dan dipahami serta menjadi landasan perlakuan kedepannya melalui penguatan informasi warisan budaya di sepanjang DAS Citarum. Berdasarkan hal tersebut, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX sebagai salah satu UPT di bawah Direktorat Jenderal, Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun anggaran 2024 mengemas berbagai informasi seputar warisan di sepanjang DAS Citarum melalui kegiatan bernama “Cerita Citarum”. Kegiatan ini akan mengajak sejumlah peserta untuk mengeksplorasi informasi sekaligus menginformasikan warisan budaya di sepanjang DAS Citarum kepada publik. Peserta yang diundang untuk mengikuti kegiatan ini terdiri dari para jurnalis, media instansi, organisasi profesi, dan komunitas.
Diungkapkan Direktur Pengambangan dan Pemanfatan Kebudayaan, Irini Dewi Wanti, kegiatan Festival Citarum sangat luar biasa, karena membuat narasi terkait peradaban citarum nusantara.
“Baik itu tentang alam, juga tentang candi-candi yang menjadi cagar budaya, bahkan mungkin sebagian sudah tidak bisa kita temukan. Dan kegiatan ini konteksnya festival yang berkontribusi merevetaliasi kebudayaan,” ujarnya.
Terlebih diakuinya, kebudayaan merupakan bagian dari solusi permasalahan ekonomi bahkan mungkin lingkungan. “Maka seperti ini diharapkan bisa dilakukan secara bersama-sama dan menghidupkan para pelaku budaya. Selain itu, kegiatan festival ini juga dapat menjadi bahan lanjutan untuk para akademisi dalam melestarikan budaya dan menjadi cerita citarum,” papar Irini.
Seperti diulas sebelumnya, maksud dari kegiatan Cerita Citarum adalah mengajak peserta untuk berkunjung langsung ke beberapa obyek budaya yang merepresentasikan bukti jejak peradaban pada DAS Citarum. Adapun tujuan kegiatan adalah Memperkenalkan dan menginformasikan warisan budaya pada DAS Citarum melalui media; menumbuhkan pemahaman masyarakat untuk berperan serta dalam melestarikan warisan budaya pada DAS Citarum, dan menumbuhkan sikap kepedulian dalam melestarikan lingkungan alam yang telah memberikan sumbangsih sangat besar terhadap kemajuan peradaban manusia.
Lokasi yang dikunjungi oleh peserta didasarkan pada warisan budaya benda yang masih bertahan. Lokasi sebaran warisan budaya terpilih berada di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Purwakarta, dan Kab. Karawang.
Lokasi kunjungan di Kota Bandung adalah Museum Geologi. Hal pertama yang perlu diketahui peserta adalah pembentukan geologi awal Sungai Citarum yang sangat terkait dengan terbentuknya Bandung Purba
Lokasi kunjungan di Kab. Bandung adalah di Situ Cisanti dan Bojongmenje. Situ Cisanti merupakan titik awal atau hulu Sungai Citarum yang didalamnya terdapat tinggalan budaya baik yang terkait erat keberadaan Situ Cisanti sebagai hulu Sungai Citarum. Candi Bojongmenje merupakan candi yang masih berada dalam wilayah pinggiran sungai Citarum. Hal ini sesuai dengan bukti perjalanan masyarakat zaman dahulu yang kerap menandakan keberadaannya dengan membangun berbagai bangunan, termasuk bangunan religi.
Lokasi kunjungan di Kab. Bandung Barat adalah Gua Pawon. Lutfi Yondri seorang Arkeolog BRIN telah lama melakukan penelitian dan sampai pada kesimpulan bahwa Gua Pawon menjadi salah satu bukti keberadaan manusia Purba di wilayah cekungan Bandung.
Lokasi Kunjungan di Kab. Purwakarta adalah Dermaga Talibaju dan Bendungan Jatiluhur. Dermaga Talibaju merupakan dermaga yang pada masa dahulu kerap dijadikan sebagai “terminal” berbagai komoditi yang dibawa baik menuju hulu maupun hilir. Bendungan Jatiluhurmerupakan salah satu contoh pemanfaatan sungai Citarum untuk dijadikan sebagai sarana pembangkit listrik tenaga air. Fokus publikasi kepada peserta di Bendungan Jatiluhur adalah pada upaya pelestarian lingkungan Bendungan Jatiluhur dalam bentuk pemanfaatan limbah eceng gondok untuk dijadikan sebagai pupuk alam dan bahan dasar kerajinan yang terbuat dari eceng gondok.
Lokasi kunjungan di Kab. Karawang adalah Di Muara Bungin dan Kawasan Percandian Batujaya. Muara Bungin merupakan hilir Sungai Citarum yang pada masa dahulu kerap dijadikan sebagai titik awal para pedagang melakukan barter komoditi ke hulu sungai Citarum. Kawasan Percandian Batujaya merupakan salah satu bukti adanya peradaban yang cukup masif dan dapat dilihat bukti tinggalan budayanya. Kawasan Percandian Batujaya kini dijadikan sebagai lokasi persembahyangan umat Budha.
Hasil dari publikasi peserta diharapkan dapat menggugah masyarakat untuk lebih memperhatikan dan berperan aktif dalam pelestarian lingkungan melalui berbagai kegiatan budaya di sepanjang Sungai CItarum. Selebihnya, Publikasi yang dihasilkan juga dapat menjadi informasi kabupaten/kota dalam penyusunan data pokok kebudayaan sebagai data dasar yang akan digunakan dalam penyusunan strategi kebudayaan nasional. (Elfa)**