Menyoal Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Belajar dari Kasus Nenek Minah
BANDUNG INSPIRA – Masih ingat kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA)?
Ya, kasus itu terjadi 2009 lalu. Kala itu, Nenek Minah sedang menunaikan pekerjaannya memanen kedelai di Perkebunan RSA.
Nenek Minah kemudian mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat matang.
Dia lantas memetiknya untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Kakao itu diletakkan di bawah pohon.
Perbuatan Nenek Minah diketahui mandor kakao perkebunan. Dia pun ditegur, lantas mengembalikan ketiga kakao tersebut.
Namun, seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian.
Kasus tersebut sampai ke pengadilan. Tanpa didampingi penasihat hukum berakhir, Nenek Midah didakwa atas pencurian (Pasal 362 KUHP) 3 kakao seberat 3 kilogram.
Alhasil, Majelis Hakim PN Purwokerto saat itu memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.
Bukan hanya publik yang terenyuh, sang hakim pun tak kuasa menahan air mata saat menjatuhkan vonis.. Sebab, dalam logika hukum yang terlalu formal, rasa kemanusiaan kerap kali tidak mendapat ruang.
Kisah ini menjadi refleksi penting bagi Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Menurutnya, revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus dilakukan agar hukum tidak hanya berpijak pada pasal, tapi juga pada rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
“Kasus Nenek Minah itu menyedihkan. Unsur pelanggaran terpenuhi, iya. Tapi di mana hati nurani kita? Apa pantas seorang nenek harus masuk penjara hanya karena mencuri kakao?” ujar Habiburokhman, seperti dikutip dari laman resmi DPR Kamis (31/7/2025).
Dia menjelaskan, dalam draf revisi KUHAP yang sedang dibahas, nilai-nilai restorative justice mulai dimasukkan.
Restorative justice adalah pendekatan hukum yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, bukan sekadar menghukum.
“Kalau RUU KUHAP ini diterapkan, untuk kasus seperti Nenek Minah, cukup dengan komunikasi antara pelaku dan korban. Kalau korban tidak merasa dirugikan, ya selesai di tingkat penyidikan,” terang Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Tak hanya untuk kasus seperti Nenek Minah, konsep ini juga bisa diterapkan untuk berbagai pelanggaran ringan lainnya, mulai dari perkelahian antar tetangga hingga perselisihan sepele yang kini justru menyesaki lembaga pemasyarakatan.
Dia menyebutkan, saat melakukan kunjungan kerja ke daerah, ia mendapati Lapas yang overkapasitas hingga 400 persen, sebagian besar akibat perkara-perkara minor.
“Bayangkan, 40 persen penghuni Lapas itu pelaku kejahatan ringan. Kalau semua bisa diselesaikan secara kekeluargaan, dengan pendekatan yang manusiawi, bukankah itu jauh lebih adil dan efisien?” tegasnya.
Dengan semangat perubahan itu, Habiburokhman dan Komisi III DPR RI mendorong lahirnya KUHAP baru yang lebih berimbang, antara kekuasaan negara dan hak-hak warga negara.
Sebab, hukum sejatinya bukan hanya alat kekuasaan, tetapi jalan menuju keadilan yang bermartabat. (Tim Berita Inspira) **


