Menggema dari Keheningan, Jejak Seni Disabilitas Asia Tenggara
BANDUNG INSPIRA – Cahaya lampu temaram di Galeri Panyawangan-Bale Seni Barli, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, menimpa kanvas-kanvas yang menempel anggun di dinding.
Para pengunjung berjalan perlahan, berhenti sejenak di depan lukisan, seakan hendak menangkap pesan-pesan yang tak terucap. Hening terasa kental, namun bukan berarti kosong. Dalam sunyi itu, beresonansi kisah-kisah tubuh yang selama ini jarang terdengar.
Pameran bertajuk “Masagi ke-2: ASEAN Disability Art Exhibition – Silent Memories, Resonant World” menghadirkan 36 seniman disabilitas dari berbagai negara Asia Tenggara, kecuali Thailand. Selama hampir sebulan, 30 Agustus hingga 27 September 2025, karya-karya itu mengisi ruang dengan ingatan, pengalaman, sekaligus keberanian.
Kurator Anton Susanto menjelaskan, pameran ini bukan hanya ajang apresiasi seni rupa, tapi perayaan ingatan tubuh disabilitas sebagai sumber resonansi budaya yang dalam dan tak tergantikan.
“Pameran ini mengangkat narasi-narasi yang kerap terbungkam atau diabaikan dalam sejarah seni dan budaya, dan menjadikannya inti dari percakapan visual, material, dan emosional,” tutur Anton.
Istilah Masagi, kata Anton, berasal dari bahasa Sunda yang berarti sempurna—sebuah putaran penuh di mana tiap pilar saling terhubung dan menguatkan. Kesempurnaan yang bukan berarti tanpa cacat, melainkan harmoni dari keberagaman.
Anton percaya, pencapaian estetik dari para seniman disabilitas lahir dari keyakinan, semangat, serta beragam pendekatan kreatif. Meski kerap berhadapan dengan hambatan, karya mereka adalah bukti bahwa kesempurnaan manusia justru hadir dalam keberanian untuk berkarya.
“Silent Memories, Resonant World diharapkan membawa dampak, tidak hanya bagi penyandang disabilitas, tapi juga bagi semua, termasuk pemangku kebijakan, agar terdorong lebih memberikan akses dan ruang setara bagi pengembangan bakat dan kreativitas,” kata Anton.
Lebih dari sekadar pameran, program Masagi adalah ruang perjumpaan. Seniman, karya, publik, dan kesadaran bertemu dalam satu lingkaran. Publik diajak mengakses dunia disabilitas, dan sebaliknya, seniman disabilitas menemukan ruang untuk hadir di hadapan publiknya.
Dengan pendekatan multisensorial, inklusif, dan interdisipliner, pameran ini menjadi ruang dengar kolektif. Setiap karya adalah gema sosial, setiap seniman adalah arsip hidup perjuangan sekaligus keindahan.
Di tengah galeri, hening bukan lagi sekadar diam. Ia menjelma suara—suara yang selama ini tersembunyi, kini menggema, membawa pesan bahwa seni adalah milik semua manusia. (Bambang) **
Keterangan Foto:
Pameran bertajuk “Masagi ke-2: ASEAN Disability Art Exhibition – Silent Memories, Resonant World” menghadirkan 36 seniman disabilitas dari berbagai negara Asia Tenggara, kecuali Thailand. (Foto: Bambang Prasetyo)


