Mencari Dalang di Balik Aksi Anarkis
DALAM jagat pewayangan, dalang adalah pengendali segala kisah. Dengan keluwesan tangan dan kepiawaian suara, ia bisa menghidupkan tokoh ksatria yang gagah, sekaligus menciptakan watak raksasa yang kejam. Penonton terhanyut, seakan wayang bergerak sendiri, padahal semua berasal dari kepandaian sang dalang.
Begitu pula dalam kehidupan nyata. Ada kalanya keramaian di jalanan menyerupai panggung wayang. Aksi unjuk rasa yang sejatinya menjadi ruang demokrasi bisa berubah ricuh, penuh amarah, dan anarkis. Pertanyaan pun muncul: siapakah dalang di balik semua itu?
Bandung, yang semestinya dikenal dengan wajah ramah dan budaya damai, akhir-akhir ini ikut tercoreng oleh aksi anarkis. Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menyebut kerugian akibat perusakan fasilitas publik di Kota Kembang mencapai sekitar Rp10 miliar. Nasionalnya, pemerintah memperkirakan kerugian menembus Rp900 miliar.
Lebih dari itu, korban jiwa berjatuhan. Secara nasional hingga 2 September, sedikitnya 10 orang tewas dalam gelombang kericuhan. Di Bandung, 66 personel polisi terluka, enam di antaranya harus menjalani operasi besar di Jakarta.
Sementara posko kesehatan mencatat ratusan korban sipil—mayoritas mahasiswa dan pelajar—menderita akibat gas air mata: sesak napas, kejang, hingga muntah darah. Ironisnya, seorang mahasiswa UPI ditusuk orang tak dikenal saat mencoba melerai kericuhan.
Apakah ini murni ledakan spontan kemarahan rakyat? Atau ada tangan-tangan tersembunyi yang sengaja mengarahkan lakon? Pertanyaan ini kian menguat karena pola kerusuhan tampak sistematis: target aset publik, serangan ke area akademik seperti Unisba dan Unpas, hingga upaya massa mengepung Gubernur Jabar Dedi Mulyadi sebelum akhirnya ia turun berdialog.
Bandung, dan juga Indonesia, berhak tahu siapa yang bermain di balik tirai. Apakah ini sekadar ulah provokator kecil yang mencari sensasi, atau justru ada kepentingan besar yang mengatur alur cerita?
Kita teringat wejangan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pesan ini relevan: bila aspirasi rakyat tulus, seharusnya tak dibajak oleh mereka yang hanya mencari kuasa dengan menebar anarki.
Seperti dalang pewayangan yang bisa menciptakan kebaikan atau kehancuran, dalang dalam kehidupan nyata pun bisa mengarahkan massa menuju aspirasi damai, atau sebaliknya, menuju anarki. Maka, menemukan siapa dalang sejati adalah pekerjaan rumah yang tidak boleh ditunda. Tanpa itu, demokrasi akan terus menjadi panggung yang dipermainkan, sementara rakyat hanyalah penonton yang kehilangan harapan. (Gin)


