BANDUNG INSPIRA – Komunikasi saat ini harus mampu membangun sebuah budaya yang baik di masyarakat. Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Bandung, Prof. Dr. H. Enjang AS, M.Si., M.Ag., CICS mengatakan, salah satu tantangan di tengah masyarakat adalah adanya polarisasi, fragmentasi, dan konflik sosial yang masih terus terjadi.
Fenomena ini memperlihatkan tentang adanya perbedaan pendapat yang cukup tajam dan pengkubuan di antara kelompok- kelompok sosial yang berbeda.
“Di ranah politik, misalnya, terjadi polarisasi secara tajam sejak tahun 2014 atau lebih tepatnya pada waktu Pemilihan Presiden Tahun 2014, selanjutnya diikuti oleh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Selanjutnya, Pemilihan Presiden 2019,” ujarnya, Kamis 20 Juli 2023.
Menurutnya, beberapa hasil studi menunjukkan pertentangan tersebut masih terus berlangsung sekalipun pilpres telah berakhir dan Prabowo Subianto, sebagai lawan politik Jokowi telah bergabung dengan Pemerintahan Jokowi Widodo.
Polarisasi ini pun terjadi dalam isu-isu non-politik, misalnya pada kasus Covid-19. Meski tensi polarisasi tersebut menurun, masyarakat pantas cemas karena pertentangan ini bisa jadi muncul kembali memasuki tahun politik 2024.
“Pada tahun politik atau dalam menghadapi tahun politik, khususnya pada masa kampanye pemilihan presiden, gerakan yang mengarah pada terjadinya polarisasi, fragmentasi, gesekan sosial, bahkan konflik sosial mendapatkan rumahnya yang begitu ideal, dengan hadirnya media sosial,” katanya.
Keberadaan media sosial, kata Enjang, menjadi media yang bisa mempengaruhi terbangunnya polarisasi dengan berbagai berita yang tidak benar.
Persoalan tersebut terjadi akibat para pengguna informasi cenderung kurang selektif dan hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada kelompoknya.
“Ditambah kurang memperhatikan benar atau tidaknya informasi yang masuk kepadanya. Bahkan seringkali mudah terpropokasi oleh informasi yang didapatkannya. Padahal, suatu informasi bisa saja salah atau memang sengaja dibuat salah, atau dibuat sesuai fakta tetapi dimaksudkan untuk merugikan atau menyudutkan sesorang, kelompok, organisasi atau bahkan negara,” papar Enjang.
Dalam media sosial, secara umum masyarakat sering mendapatkan informasi yang tak benar. Bahkan ada informasi yang mengandung unsur kepalsuan (false) dan merugikan (harmful), atau setidaknya ada semacam kekacauan informasi (information disorder) yang terdapat di dalamnya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi terjadi juga di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan beragama.
Berdasarkan laporan hasil kajian Setara Institute, Jawa Timur disebut sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berbudaya (KBB) paling banyak. Provinsi tersebut menggeser posisi Jawa Barat yang seringkali disebut sebagai provinsi yang intoleran.
“Menariknya, data tersebut menunjukkan bahwa salah satu kasus yang paling banyak muncul adalah penolakan atas ceramah keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh beberapa ustadz oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Penolakan ini terutama terjadi ketika ada penceramah-penceramah yang dianggap mengancam tradisi lokal atau praktik keagamaan tertentu yang biasa dijalankan oleh kelompok masyarakat muslim setempat,” ujarnya.
Data ini menujukkan polarisasi di internal umat Islam sendiri masih terjadi. Bahkan di media sosial terlihat pertentangan yang lebih sengit, yaitu adanya kontestasi otoritas keagamaan tradisional yang sudah mapan dengan otoritas-otoritas keagamaan baru.
Banyak kolom komentar pada ceramah-ceramah keagamaan yang disampaikan oleh ustaz-ustaz tertentu berisisi pertengkaran antara para pengikut yang berbeda pemahaman keagamaan.
Ironisnya, percekcokan seperti ini bukan hanya diikuti masyarakat umum, terkadang terjadi juga pada kelompok terpelajar, bahkan peneliti pun terlibat.
“Pada satu sisi, khususnya pada skala mikro kita bisa mengatakan bahwa konflik dan gesekan seperti itu wajar terjadi dan merupakan bagian dari dinamika kehidupan sosial. Tapi di sisi lain, fenomena ini juga bisa jadi mengindikasikan tidak berjalannya institusi sosial yang ada di level masyarakat yang di antaranya dihidupkan oleh proses komunikasi yang berkesinambungan. Selain itu, pada spektrum lebih luas, kita juga perlu melihat secara seksama tentang kemungkinan adanya structural problem yang turut mempengaruhi munculnya masalah tersebut,” paparnya.
Solusi Mengatasi Polarisasi di Masyarakat
Enjang menawarkan langkah untuk mengatasi adanya polarisasi, fragmentasi, intoleransi, gesekan sosial, dan konflik sosial yang masih terus terjadi di tengah masyarakat.
Pertama, praktik komunikasi dengan mengurangi orientasi dan tendensi komunikasi yang hanya ingin “mempengaruhi”, bahkan “mengalahkan” orang lain sekaligus memenangkan diri sendiri, hingga komunikasi harus dijadikan sebagai suatu percakapan yang terus terbuka, dan perlu adanya kesediaan untuk mendengar dan memahami rekan komunikasi.
Kedua, praktik komunikasi dengan menghindari budaya komunikasi yang bersifat narcissist- yang selalu berorientasi terhadap diri sendiri, yaitu conversational narcissism – sebuah kecenderungan untuk mengarahkan semua percakapan menjadi tentang diri sendiri dan tidak tertarik dengan apa yang orang lain katakan. *(juna)