Makan Bergizi Gratis: Kritik atas Luka, Harapan pada Perbaikan
MAKANAN mestinya menjadi sumber tenaga, bukan penyebab derita. Apa jadinya bila program yang diberi nama indah—Makan Bergizi Gratis (MBG)—justru menorehkan luka di tubuh-tubuh kecil para siswa?
Salah satu insiden paling mutakhir terjadi di Kabupaten Bandung Barat (Cipongkor). Sebanyak 393 siswa dilaporkan keracunan —39 orang masih menjalani rawat inap per 23 September 2025. Gejala yang dialami korban cukup beragam: mual, muntah, pusing, diare, perut sakit, lemas, demam, serta sesak napas.
Evaluasi internal mengungkap, banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak memiliki SOP keamanan pangan yang memadai. Dari 1.379 SPPG, hanya 413 memiliki SOP, dan yang benar-benar menjalankan SOP keamanan pangan hanya 312 unit.
Lebih parah, dari 8.583 SPPG yang diinventarisasi, hanya 34 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes; sisanya — 8.549 SPPG — belum memiliki SLHS.
Keracunan massal di Bandung Barat adalah ironi. Harapan yang seharusnya tumbuh bersama nasi, lauk, dan sayur, malah digantikan rasa mual dan pusing. Kata “bergizi” kehilangan makna, berubah menjadi tanya: di mana letak kelalaiannya?
Negeri ini sudah terlalu sering bermain-main dengan janji. Anak-anak adalah masa depan, namun mengapa masa depan itu dipertaruhkan lewat makanan yang tak terjaga higienitasnya? Jangan biarkan mereka jadi korban dari sistem yang lalai.
MBG adalah program mulia. Tapi kemuliaan itu hanya akan nyata bila setiap butir beras, setiap potong lauk, setiap tetes kuah diperiksa dengan hati-hati. Bukan sekadar menyalurkan anggaran, melainkan menjaga kehidupan.
Mari kita ingat: memberi makan anak bangsa bukan soal perut semata, tetapi tentang martabat. Mereka berhak mendapatkan makanan yang bukan sekadar mengenyangkan, tetapi sungguh-sungguh menyehatkan. Jika kelalaian kembali terulang, maka kata “bergizi” hanya akan tinggal nama—dan anak-anak kita terus menanggung risiko. (Gin)
Keterangan Foto:
Ilustrasi Makan Bergizi Gratis (MBG).


