BANDUNG INSPIRA – Perkembangan tekhnologi yang berkembang dengan pesat, melahirkan berbagai inovasi untuk masyarakat, termasuk dalam menikmati berbagai tayangan informasi hingga hiburan melalui media berbasis internet (OTT).
Namun dibalik kemudahan tersebut, sampai saat ini, belum ada regulasi yang secara kongkret mengatur tentang bagaimana aturan main bagi media berbasis internet, padahal konten konten yang dihasilkannya berdampak besar bagi masyarakat.
Tak jarang konten konten berbau pornografi, hingga kekerasan mudah di temukan di dalam OTT ini. Atas dasar itu, KPID Jawa Barat terus berupaya mendorong negara untuk hadir menyelamatkan koginisi masyarakat sesuai amanat yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
Ketua KPID Jawa Barat, Adiyana Slamet mengatakan, berbagai upaya telah dilakukannya bersama seluruh Lembaga penyiaran di Jawa Barat untuk menggempur konten konten negative yang bertebaran di media berbasis internet.
Namun hal tersebut tidak akan pernah cukup jika Negara tidak hadir untuk berupaya melindungi masyarakatnya melalui regulasi ketat untuk OTT.
“Karena undang undang 32 tahun 2002 itu tidak mengakomodir untuk kami mengawasi media berbasis internet, tapi kami memandang bahwa di Jabar ini 476 lembaga penyiaran tidak cukup untuk coba mengeluarkan pesan pesan yang positif, kami juga merasa masih banyak kekurangan karena masih banyak masyarakat yang terpapar dengan konten konten yang ada di media berbasis internet,” ungkapnya dalam Ekspose hasil riset Tahun 2024 dengan tajuk ‘Analisis Minat Penggunaan Platform Media di Jawa Barat Studi Komparatif Pilihan dan Preferensi Penggunaan TV, Radio, OTT dan Media Sosial Antar Generasi X,Y, dan Z’ di Universitas Pasundan Bandung, Selasa (26/11/2024).
Adiyana pun mendorong negara untuk hadir membantu Lembaga Penyiaran dan KPI untuk bersama sama menjaga kognisi masyarakat, dari ancaman konten negative yang bisa dengan mudah dinikmati publik.
Jika hal tersebut tidak menjadi perhatian serius bersama, hancurnya bangsa karena rusaknya kognisi masyarakata, menjadi keniscayaan yang harus di hadapi, di tengah upaya besar bersama mewujudkan Indonesia Emas 2045.
“Ini menjadi salah satu tanggung jawab negara yang tertuang dalam prembul undang undang dasar 1945 alenia 4, yaitu tujuan negara adalah untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia bicara segenap tumpah darah Indonesia itu tidak hanya fisik saya fikir, negara pun harus bertanggung jawab untuk melindungi kognisi masyarakat, terutama kelompok rentan dalam konteks mengkonsumsi konten,” tegasnya.
Hal senada juga di ungkapkan, Anggota DPRD Jawa Barat, Ineu Purwa Dewi. Menurutnya perkembangan tekhnologi saat ini memudahkan semua orang untuk mendapatkan informasi.
Akan tetapi dijelaskan Ineu, dibalik kemudahan yang bisa didapatkan oleh masyarakat, tersimpan segudang ancaman yang perlu diantisipasi bersama.
Pornografi, Kekerasan, hingga LGBT menjadi segelintir persoalan yang menghantui generasi muda bangsa, dan perlu mendapatkan perhatian serius dari seluruh pihak termasuk Negara.
“Namun dari kemajuan yang ada menghadirkan berbagai tantangan tidak terkecuali di Jawa Barat, terutama dalam menghadapi konten digital yang sulit dihadapi termasuk isu isu sensitive seperti pornografi, kekerasan, LGBT, yang mempengaruhi generasi muda kita saat ini,” jelasnya.
“Tantangan tantangan inilah yang harus di sampaikan, untuk merevisi regulasi sehingga bisa mengcover dan menjawab tantangan yang ada saat ini,” sambungnya.
Hal itupun di perkuat melalui riset yang dilakukan oleh KPID Jawa Barat yang menggandeng Universitas Pasundan Bandung
Ketua Tim Peneliti dari Universitas Pasundan Bandung, Dr. Almadina Rakhmaniar, S.Psi., M.I.Kom, memaparkan, dalam komparasi Tingkat kekhawatiran antar generasi, X, Y dan Z di Jawa Barat terhadap Konten pada platform OTT dengan melibatkan total 504 responden, di dapati 200 responden merasa khawatir, 174 responden Netral dan 117 responden merasa sangat khawatir, sedangkan 12 responden menyatakan tidak khawatir, serta 1 lainnya menyatakan sangat tidak khawatir.
“Dari riset yang kami lakukan, sebanyak 200 responden menyatakan khawatir, 174 responden netral dan 117 responden sedangkan 12 responden menyatakan tidak khawatir dan 1 lainnya sangat tidak khawatir, ini menunjukan seberapa tingginya kekhawatiran masyarakat terhadap konten OTT,” ungkapnya,
Adapun konten yang di khawatirkan, dikatakan Alma, Kekerasan dan pornografi, menjadi konten yang menempati peringkat 1 dan 2 dalam penelitian tersebut.
“Untuk jenisnya, Konten kekerasan dan pornografi yang terbesar,”katanya.
Tidak hanya itu, dalam penelitian itu juga disebutkan, tingginya Tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap dampak media OTT dan Media Digital terhadap perkembangan moral dan etika anak anak.
“Dari hasil survei kami, sebanyak 228 responden mengaku sangat khawatir, 188 responden mengaku khawatir, 174 lainnya netral dan 13 responden lainnya mengaku tidak khawatir,” jelasnya.
Tingginya kekhawatiran masyarakat ini, menunjukan pentingnya kehadiran negara dalam melindungi masyarakatnya, hal inipun dijelaskan Alma, tertuang dalam penelitiannya yang menyebutkan banyaknya masyarakat yang berharap adanya regulasi yang di siapkan negara untuk mengawasi secara ketat konten konten yang di tayangkan di media digital dan OTT.
“Lebih dari 300 responden berharap adanya regulasi yang disiapkan oleh negara untuk pengawasan yang lebih ketat terhadap konten. Tidak hanya itu 150 responden lainnya berharap adanya edukasi bagi orang tua tentang pengawasan media dan Tingkat kontrol terhadap media yang di akses anak anaknya,” tandasnya. **