BANDUNG INSPIRA – Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp (SKDC) merupakan program komunitas seni di bawah naungan Dayaloka Tari Sasikirana. SKDC bertujuan untuk menjadi ruang aman bagi penari Indonesia untuk berproses, berpikir kritis, dan berkontribusi bagi perkembangan seni dan kebudayaan secara luas.
Berdiri pada tahun 2015, SKDC memiliki misi untuk berkontribusi bagi perkembangan ekosistem seni tari dan mengupayakan berbagai pendekatan untuk merepresentasikan keragaman budaya di Indonesia.
Untuk itu, anggota komunitas diharapkan dapat terus mengasah kemampuannya memproduksi pengetahuan, mengembangkan diri dan menghidupkan semangat penciptaan seni pertunjukan di Indonesia untuk pemberdayaan masyarakat secara nyata.
Dayaloka Tari Sasikirana meyakini bahwa seni tari menjadi media yang dapat menjembatani banyak pemikiran, melintasi sekat-sekat perbedaan, dan menginisiasi beragam kerjasama untuk pemajuan kebudayaan.
Berikut ini adalah beberapa program yang dilaksanakan oleh Dayaloka Tari Sasikirana:
• KoreoLAB Lokakarya untuk koreografer Indonesia pilihan | tahunan
• Kemah Tari Lokakarya dengan peserta terseleksi dari open call | tahunan
• DanceLAB Lokakarya dengan pemateri tamu | insidentil
• DokumenTARI Arsip web berbasis narasi hidup penari Indonesia.
SKDC digagas oleh Keni Soeriaatmadja, dibentuk bersama dua co-founder lainnya yaitu Ratna Yulianti dan Riri Ariyanty. Ketiganya merupakan penari Bali non etnis Bali.
Dalam proses kepenariannya kemudian muncul kegelisahan tentang ‘tubuh apa dan siapa yang mereka tarikan, mereka representasikan?’ Galuh Pangestri, penari alumni SKDC 2015 kemudian bergabung.
Keempatnya bergerak seni dalam arah yang berbeda-beda yakni keproduseran, pendidikan seni, kepenulisan, namun selalu bertemu kembali karena kecintaan akan dunia seni tari Indonesia, yang diwujudkan dalam perawatan ekosistem dan program-program inkubasi untuk penari-penari muda Indonesia melalui Dayaloka Tari Sasikirana.
Kemah Tari Sasikirana
Kemah Tari Sasikirana, atau sebelumnya dikenal sebagai Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp berlangsung pada tanggal 12-18 November 2023 di Jatiwangi-Majalengka, dan dibuka pada Minggu malam, (12/11/2023) di Saung Eurih.
Program tersebut berlangsung selama 7 hari di berbagai lokasi di Majalengka, khususnya Kecamatan Jatiwangi. Melibatkan 21 penari dari berbagai daerah di Indonesia, 3 orang koreografer kontemporer, dan 4 orang seniman sebagai mentor, yaitu: Hartati (seniman tari), Rianto (seniman tari), Adinda Luthvianti (seniman teater), dan Hanafi (seniman rupa).
Hartati dan Rianto merupakan koreografer tari kontemporer yang pernah mendapatkan Anugerah Kebudayaan sebagai Pelopor dan Pembaru di bidang seni tari di Indonesia. Bekerjasama dengan Goethe Institut-Indonesia, program ini juga akan melibatkan narasumber internasional, yaitu kolektif seni LIGNA dari Jerman yang akan memberikan materi mengenai praktik koreografi di ruang publik di salah satu sesi hibrid.
Kemah Tari Sasikirana 2023 merupakan program inkubasi seni tari berupa pelatihan intensif selama 7 hari bagi seniman tari muda terpilih dari berbagai penjuru Indonesia. Kegiatan ini diprakarsai oleh Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp, yang pada tahun 2023 ini bekerjasama
dengan Jatiwangi Art Factory dan Yayasan Seni Tari Indonesia.
Sejak tahun 2015, Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp menyelenggarakan program Kemah Tari dengan mempertemukan 20-25 seniman tari muda potensial untuk meningkatkan kapasitas diri dan wawasan artistik, membangun jejaring seniman tari kontemporer muda Indonesia dan membuka akses bagi penguatan ekosistem seni tari kontemporer yang lebih merata di Indonesia.
Seni tari di Indonesia berkembang dalam sebuah perjalanan panjang dan banyak cabang. Berbekal tubuh-tubuh yang tumbuh dari ritual, adat istiadat, modernisasi, gejolak politik, ketegangan rural-urban, dan globalisasi yang silang sengkarut, perlu upaya khusus untuk mempercakapkan keberagaman ini, dan meneguhkan seni tari dalam kerangka produksi pengetahuan yang memperkaya kebudayaan Indonesia.
Program Kemah Tari akan ditutup dengan kegiatan Saji Karya Kemah Tari berlangsung pada hari Sabtu, 18 November 2023 Pk. 20.00 WIB atau hari ini. Kegiatan ini mempertunjukkan hasil lokakarya selama satu minggu di hadapan publik, khususnya masyarakat Jatiwangi, di Pabrik Genting/Jebor Super Fajar. Pertunjukan ini diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk mengenal lebih jauh seni tari kontemporer Indonesia, sekaligus mengaktifkan ruang-ruang publik yang khas di daerah Jatiwangi untuk dijadikan kegiatan kebudayaan.
Tubuh dan Tanah
Hikayat Jatiwangi, meski cukup dikenal sebagai daerah penghasil genting gerabah dan berpotensi sebagai komunitas yang terus menerus melakukan eksperimen artistik, masyarakat wilayah Jatiwangi Majalengka memiliki pertanyaan yang tak kunjung terjawab mengenai identitas dan tradisi daerahnya.
Dalam sejarah, wilayah Majalengka dikenal sebagai tempat persinggahan namun jarang jadi tempat tujuan akhir. Sejak zaman meraih kemerdekaan Majalengka seringkali menjadi tempat memoderasi diskusi, tapi eksekusi selalu dilakukan di wilayah lain; Menjadi tanah kelahiran tokoh- tokoh besar yang kemudian tak dikenal di rumah sendiri; Menjadi tempat tinggal para buruh di kawasan industri (gula dan tembikar di masa lalu dan pabrik-pabrik raksasa multinasional hari ini) namun tidak juga mendapat porsi ekonomi yang membawa kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini memantik warga Jatiwangi untuk menggali, Hikayat apa yang ingin dikisahkan oleh tubuh-tubuh di Jatiwangi?
Tubuh seringkali dikaitkan erat dengan tanah. Pengetahuan modern menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam tubuh serupa dengan unsur-unsur mineral tanah.
Beberapa agama dan kepercayaan bahkan meyakini bahwa tubuh tercipta dari tanah dan dihidupkan oleh Kekuatan yang Tak Terhingga. Elemen alam seperti air, udara, sinar matahari, api, sama-sama mempengaruhi kualitas tubuh serta tanah.
Jatiwangi, tempat Kemah Tari dilangsungkan kali ini, dikenal sebagai daerah penghasil tembikar yang terbuat dari tanah liat, ditunjukkan dengan banyaknya pabrik genteng yang tersebar di wilayah kecamatan ini yang dikenal dengan istilah ‘jebor’. Pabrik-pabrik ini, baik yang masih hidup maupun yang sudah terbengkalai, menjadi situs yang banyak ditemui di Jatiwangi, daerah yang pada masa kolonial dikenal sebagai penghasil gula di Jawa Barat.
Tanah liat yang tumbuh subur di area persawahan menunjukkan bahwa kultur agraris bertaut erat dengan industri rakyat yang terusberproduksi selama berpuluh-puluh tahun, dan hidup berdampingan. Tidak berlebihan jika akhirnya Kabupaten Majalengka menyebut diri sebagai ‘Kota Terakota’. Berbagai elemen tembikar menghiasi kota ini, dari rumah-rumah penduduk hingga gedung-gedung pemerintahan dan alun-alun kabupaten. Di sisi lain, isu kepemilikan tanah mencuat di wilayah ini.
Hutan, ruang-ruang terbuka hijau, dan pemukiman mulai terdesak oleh industrialisasi yang merangsek atas nama pemajuan ekonomi daerah. Beberapa gerakan masyarakat seperti ‘Perhutana’ yang diinisiasi oleh Jatiwangi Art Factory (JAF) misalnya, berupaya untuk memanfaatkan kolektivitas warga untuk menguasai tanah yang terancam diambil alih oleh kawasan industri menjadi kawasan hutan yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat banyak.
Aktivitas warga dan gerakan masyarakat yang berlangsung di Jatiwangi memantik ketertarikan Sasikirana untuk menghadirkan Kemah Tari sebagai ruang untuk menyadari, menghadirkan, dan merespon cara bertubuh warga dan gerakan masyarakat di wilayah ini dalam kerangka seni tari.
Dalam tataran keseharian, tubuhtubuh masyarakat Jatiwangi hadir sebagai petani, pengolah tanah liat, pencetak genteng, pembakar keramik, pedagang di pasar, penjaja makanan, buruh pabrik, guru, dan lain-lain yang memiliki cara bertubuh yang khas dan partikular. Dalam tataran sosial, tubuh-tubuh ini juga ‘bergerak’ secara kolektif untuk bernegosiasi dan menciptakan resiliensi terhadap berbagai realitas dan perkembangan sosial yang hadir di lingkungannya.
Kemah Tari Sasikirana mengajak para seniman tari muda potensial dari berbagai daerah di Indonesia untuk berkumpul dan merumuskan relasi praktik artistiknya dengan peta kuasa atas tubuh dan samasama melakukan refleksi yang mempertanyakan: Siapa saya, dimana posisi saya, dan apa peran saya sebagai seniman di tengah masyarakat?**