Oleh: Warnitis (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pembangunan Sosial & Kesejahteraan UGM)
Dalam buku yang berjudul Kehampaan Hak karya dari empat penulis yaitu Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal dan Otto Hospes ini memberikan gambaran tentang fenomena konflik yang terjadi antara perusahaan sawit dengan warga pedesaan di Indonesia, dua pihak yang berasal dari latar belakang berbeda dan kekuatan yang sangat jauh berbeda. Dengan mengamati pada konflik yang terjadi antara pihak pemilik modal/kapital dalam hal ini perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat petani lokal, kita akan bisa melihat seperti apa peran negara dalam melindungi hak-hak warga negaranya secara adil, proporsional sesuai regulasi/peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Kita juga bisa melihat bagaimana respon masyarakat desa yang berkonflik dengan perusahaan sawit tersebut melakukan protes kepada lembaga pemerintah dalam menuntut haknya, karena yang terjadi pada kenyataanya adalah tidak berjalannya perran hukum dan undang-undang secara efektif dan adil.
Dari fenomena konflik yang terjadi dan upaya-upaya protes untuk mendapatkan penyelesaian, akhirnya penulis menggunakan istilah Kehampaan Hak (rightlessness) sebagai kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan kondisi warga masyarakat korban konflik dengan Perusahaan Sawit. Istilah ini menggambarkan sebuah kondisi dimana hak-hak masyarakat di mata hukum untuk mendapatkan keadilan seringkali dikerdilkan oleh lembaga penegak hukum itu sendiri, sehingga mereka bahkan ahirnya seperti tidak memiliki hak untuk mendapatkan hak perlindungan dan keadilan dimata hukum (Hampa Hak/ rightless resistance).
Karena kondisi kehampaan hak itulah, akhirnya masyarakat desa lebih memilih melakukan upaya protes mereka dengan melakukan pendekatan strategi yang akomodatif melalui jalur hubungan informal dengan pemegang kekuasaan setempat dengan mengedepankan norma-norma sosial masyarakat dan adat istiadat setempat dalam penyampaian aspirasi atau keluhan. Hal ini dilakukan karena masyarakat desa sudah menyerah dengan menempuh proses legal hukum formal dalam meperjuangkan hak-hak mereka karena pada kenyataanya tidak pernah berhasil karena mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya diterima sebagai warga negara.
Bentuk bentuk perlawanan terhadap kehampaan hak disini, pada ahirnya memberikan gambaran seperti apa kondisi negara di Indonesia. Secara ekonomi-politik, pembangunan kapitalis selalu menghasilkan sebuah ketimpangan sosial ekonomi, ketimpangan kekuatan dimata hukum, hingga ketimpangan dalam hak mendapatkan keadilan. Secara perspektif agraria, hukum tentang peraturan pertanahan dari mulai hak milik, hak pakai, hak guna usaha, masih sering dijumpai cacat implementasi di lapangan, dimana tidak semua tanah “bertuan secara legal” meski dimiliki turun temurun secara adat sebagai milik mereka. Dari sini juga pada akhirnya diketahui sejauhmana kualitas dan karakter para petinggi dan pejabat pemerintahan setempat khususnya pada level Kabupaten dan Propinsi dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat desa kaitanya dengan perusahaan sawit.
Pada akhirnya, sebagai dampak dari Kehampaan Hak, maka upaya protes dengan kearifan sosial dan adat setempat dilakukan oleh masyarakat dengan cara pendekatan mediasi yang melibatkan pihak eksternal, biasanya dilakukan oleh pejabat setempat, misal Bupati, anggota DPRD, Camat, Kepada Dinas, Polisi, dan lainnya. Semua itu dilakukan melalui jalur hubungan dan komunikasi informal. Namun, seringkali tidak ada mediator dari otoritas lokal yang benar-benar netral dan berada pada posisi “eksternal”, banyak yang pada kenyataanya punya hubungan khusus dengan perusahaan sawit yang pada akhirnya mementahkan lagi proses mediasi.
Belajar pada kasus konflik masyarakat desa dengan perusahaan sawit yang berhasil menemukan solusi dan hasil damai adalah karena bisa masuk sampai pada level tingkat otoritas kekuasaan paling tinggi di negara yaitu presiden, sehingga dengan adanya keberpihakan otoritas tersebut pada hak-hak warga negara yang dirugikan, akan dengan mudah mengerahkan kekuatan dibawahnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa menyelesaikan konflik dan mengawal sampai warga masyarakat mendapatkan pengembalian atas hak mereka. Meski ini adalah kasus langka dalam penyelesaian konflik yang berujung damai dan win win solution, namun dari sini dapat disimpulkan bahwa keberpihakan pemegang kekuasaan pada hak-hak masyarakat desa yang seharusnya mereka dapatkan menjadi salah satu kunci sukses dalam penyelesaian konflik masyarakat dan perusahaan sawit, pengawalan mediasi sejak kesepakatan hingga pemenuhan hak masing-masing sesuai kesepakatan yang ketat serta pengeluaran sanksi dari setiap pelanggaran perusahaan sawit yang adil setidaknya akan meminimalkan atau bahkan bisa meredam konflik, artinya dari sini pemerintah turun tangan mengawal secara langsung pelaksanaan hubungan kemitraan antara perusahaan sawit dan masyarakat desa yang harusnya duduk berdampingan dalam pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan regulasi yang berlaku dalam setiap hak-kewajiban yang harus ditunaikan oleh kedua belah pihak.
Dalam salah satu kesimpulan buku ini, menyampaikan rekomendasi dengan adanya pembentukan “dewan mediasi” yang merupakan badan independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan tugas mediasi. Namun penulis kurang sepakat mengingat posisi tawar dewan mediasi berada di level pemerintahan daerah yang notabene jika dibandingkan dengan level perusahaan sawit yang mayoritas skala cakupan aktifitas dan kekuatanya mayoritas adalah sekup nasional yang sudah memiliki jejaring dengan kekuasaan yang lebih tinggi dari pemerintahan daerah. Sangat dimungkinkan jika pembentukan dewan mediasi hanya sebagai sarana perpanjangan tangan otoritas pemerintah setempat agar tidak bersinggungan langsung dengan konflik.
Upaya penyelesaikan konflik yang punya peluang besar adalah jika penanganan mediasi itu dilakukan oleh otoritas yang posisi tawar level kekuasaan/kekuatanya lebih tinggi dari perusahaan sawit, misal mediasi yang levelnya nasional/pemerintah pusat. Disamping itu reformasi pembenahan mental dan integritas pada seluruh level dan sector pemerintahan sangat penting, dimana kebijakan dan putusan tidak dengan mudah dibeli dengan uang oleh pemilik capital terbesar yang bisa memberikan sumbangan dana bagi segelintir penguasa di daerah, karena hal ini yang paling banyak menjadi penyebab mentoknya mediasi dalam pemenuhan hak-hak masyarakat desa kaitanya dengan konflik perusahaan sawit karena sudah tidak ada lagi keberpihakan otoritas daerah pada masyakarat, namun sudah dibeli oleh para penguasa perusahaan sawit. (aufa)**