Ironi Gaji Fantastis Pejabat, Saat Rakyat Bertahan di Ujung Kemiskinan
BEBERAPA waktu belakangan, publik dikejutkan oleh angka penghasilan yang sangat tinggi bagi gubernur, wakil gubernur, dan anggota DPRD Jawa Barat.
Jumlahnya yang fantastis, lengkap dengan tunjangan serta fasilitas mewah, memunculkan kontras menyakitkan di tengah kondisi rakyat yang masih bergelut dengan kebutuhan paling dasar. Satu hal yang pasti: ketimpangan sosial semakin sulit ditutup.
Data resmi menyebutkan, gubernur dan wakil Gubernur Jawa Barat menerima total gaji dan tunjangan sebesar Rp33,23 miliar per tahun, atau setara Rp2,7 miliar per bulan.
Komponen ini sudah termasuk gaji pokok, tunjangan jabatan, beras, keluarga, PPh/Khusus, serta dana operasional yang mencapai Rp28,8 miliar per tahun. Sementara itu, sebagian belanja untuk pakaian dinas memang telah dipangkas dari Rp275,5 juta menjadi Rp118 juta.
Anggota DPRD menerima gaji dan tunjangan yang jika dijumlahkan bisa mencapai Rp123,2 juta per bulan (atau sekitar Rp1,48 miliar setahun).
Rinciannya: gaji pokok hanya sebesar Rp6,6 juta, namun tunjangan perumahan bruto Rp44 juta, komunikasi Rp19 juta, ditambah paket tunjangan lain. Setelah potongan pajak progresif, take-home pay bersih anggota bisa berada di kisaran Rp90 jutaan per bulan.
Sementara penghasilan pejabat sedemikian tinggi, sebagian besar masyarakat Jawa Barat masih berkutat dengan kondisi ekonomi yang tertekan: harga kebutuhan pokok tinggi, lapangan kerja terbatas, dan daya beli semakin menurun. Di sinilah letak ironi yang menyakitkan: pejabat hidup dalam kemewahan, rakyat bergumul dalam keterbatasan.
Data terbaru dari BPS Jawa Barat menunjukkan, meski terjadi sedikit perbaikan, kondisi masih jauh dari kata merata. Per Maret 2025, jumlah penduduk miskin tercatat 3,65 juta orang atau 7,02% dari total populasi Jabar. Sementara pada September 2024, angkanya sedikit lebih tinggi: 3,67 juta jiwa (7,08%).
Jika diasumsikan setiap keluarga miskin terdiri dari rata-rata 4—5 orang, maka jumlah keluarga miskin di Jawa Barat bisa mencapai sekitar 730 ribu hingga 900 ribu keluarga —sebuah angka yang menggambarkan betapa signifikan kesenjangan ini.
Ketimpangan ini jelas bukan sekadar soal nominal, tetapi soal keadilan – apakah mereka yang lalu diberi mandat melayani rakyat, justru menjadi simbol ketidakadilan?
Para pejabat tak boleh sekadar menyajikan angka—transparansi sudah tersedia, tapi itu belum cukup. Rakyat menuntut akuntabilitas nyata, bukan sekadar administrasi. Di tengah kemewahan anggaran operasional, pertanyaannya: apakah ada program tepat sasaran untuk mengurangi kemiskinan, memperkuat ekonomi rumah tangga, ataupun membantu UMKM kecil?
Masih ada harapan. Gubernur sempat menginstruksikan beberapa efisiensi anggaran seperti penghematan pakaian dinas dan dana rapat, bahkan menggulirkan ide agar sebagian gaji tidak dicairkan langsung, melainkan dialihkan untuk keperluan publik. Ini menjadi sinyal positif—namun belum cukup menutup luka sosial yang tajam.
Sebagai amanah rakyat, jabatan politik semestinya mencerminkan empati bukan ekses. Ketimpangan penghasilan ini bisa menjadi bom waktu jika terus dibiarkan: mencairkan kepercayaan publik, membenamkan legitimasi, bahkan memicu protes.
Waktunya bukan hanya klarifikasi—tapi aksi nyata, redistribusi keadilan, dan penghentian jurang sosial yang memisahkan pemerintah dan rakyat. Pejabat harus bertanya: Apakah kehadiran mereka membawa kelegaan atau justru menambah penderitaan rakyat? (Gin)


