Harapan Pedagang Pasar Baru Kota Bandung di Tengah Era Digital
BANDUNG INSPIRA – Pasar Baru Trade Center Bandung, yang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Kota Bandung, kini menghadapi tantangan besar. Meski memiliki bangunan luas yang terbagi menjadi beberapa lantai, aktivitas perdagangan tidak lagi seramai dulu.
Pola perdagangan yang berubah dalam beberapa tahun terakhir, membuat jumlah pengunjung terus menurun. Kondisi ini membuat banyak toko, khususnya di lantai atas, terpaksa tutup karena tidak mampu bertahan. Hal ini terjadi juga pada berbagai retail di seluruh daerah.
Alis, seorang pedagang kaos oleh-oleh Bandung yang sudah dua tahun berjualan di Pasar Baru juga merasakan dampaknya secara langsung.
“Kalau dulu pengunjungnya ramai dan penjualan lumayan, sekarang semakin menurun karena banyak orang yang lebih memilih belanja online,” ujarnya.
Untuk bertahan, Alis menawarkan harga grosir murah seperti obral 3 kaos dengan harga Rp. 100.000. Strategi ini diharapkan menarik pembeli yang biasanya membeli minimal selusin.
Berbeda dengan Alis, Maya, pedagang daster yang sudah 15 tahun berjualan, justru memilih beradaptasi dengan memanfaatkan media sosial. Awalnya ia menjual gamis, namun beralih ke daster mengikuti permintaan pasar.
“Aku rajin bikin konten, satu sampai tiga per hari, juga sering live di Tiktok. Hasilnya lumayan membantu. Tapi kalau grosir besar, pembeli tetap disarankan untuk datang langsung supaya dapat harga yang lebih murah,” tuturnya.
Maya menilai Pasar Baru masih bisa berkembang jika pedagang kompak dan aktif mempromosikan dagangan mereka secara digital.
Awan, anggota asosiasi pedagang Pasar Baru, memilih untuk tidak berjualan online karena menilai persaingan di Platform digital seringkali tidak sehat.
“Pedagang seringkali banting harga sampai saling merugikan. Kalau tidak ada regulasi harga, semua bisa hancur,” tegasnya.
Lanjut, Awan menyebut faktor keamanan dan promosi wisata sangat memengaruhi jumlah pengunjung.
“Pasar Baru ini pasar wisata, kalau keamanan tidak stabil, wisawatan dari luar negeri enggan datang. Pemerintah daerah juga harus serius mempromosikan Pasar Baru sebagai destinasi wisata belanja,” ujarnya.
Kini, Pasar Baru Bandung berasa di Persimpangan. Sebagian pedagang bertahan dengan strategi grosir dan harga miring, sementara sebagian lain mulai memanfaatkan digitalisasi. Namun, tanpa dukungan dan promosi yang masif dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada pedagang, Pasar Baru beresiko kehilangan pamornya sebagai ikon wisata belanja khas Bandung. (Adelya/Syahra) **
Sumber foto: SyahraÂ


