CIMAHI INSPIRA – Politisi PDI Perjuangan Ono Surono, ambil bagian dalam syukuran adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura 1957 di Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi.
Ono datang dalam balutan baju pangsi berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala. Ia berjalan didampingi tokoh Kampung Adat Cireundeu, diikuti iring-iringan pembawa jampana berisi hasil bumi.
Dalam syukuran adat yang berlangsung pada Sabtu (3/8/2024) itu, ratusan warga tumpah ruah di bale warga Kampung Adat Cireundeu. Mereka menunggu pembagian bahan makanan berbahan baku singkong.
Kampung Adat Cireundeu sendiri dikenal sebagai kampung yang masyarakatnya mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok sejak ratusan tahun silam. Meskipun saat ini, mulai ada degradasi pengonsumsi olahan berbahan baku singkong.
“Jadi Kampung Adat Cireundeu ini terkenal dengan beras singkongnya atau yang disingkat rasi. Jadi singkong diolah jadi tepung dan rasi,” kata Ono saat ditemui, Sabtu (3/8/2024).
Ono mengatakan warga Kampung Adat Cireundeu sendiri menjadi manifestasi diversifikasi pangan. Lantaran mereka tak menjadikan nasi sebagai sumber karbohidrat tunggal.
“Ini sangat baik, dan harus jadi contoh daerah lain. Saya sudah keliling dari Aceh sampai ke Papua, kita mendapati daerah ini banyak yang sudah menerapkan diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat yang melimpah,” kata Ono.
“Misalnya di Papua ada sagu, di NTT itu jagung. Di Makassar jagung dan singkong. Kemudian di Jawa Barat ada talas, singkong, ubi. Jadi enggak semua menjadikan beras sebagai sumber karbohidrat utama,” imbuhnya.
Menurut Ono, upaya pemerintah untuk menerapkan diversifikasi pangan tidak akan berjalan lancar bila masyarakatnya tidak dibiasakan. Salah satu caranya kan lewat budaya dan adat istiadat. Jadi mudah-mudahan apa yang ada di Cireundeu ini bisa dilestarikan dan dipertahankan,” kata Ono.
Tantangan Kedepan
Kebiasaan masyarakat Kampung Adat Cireundeu mengonsumsi beras dan produk olahan lain berbahan baku singkong bukan tanpa tantangan. Terutama dari masyarakat kampung itu sendiri.
“Kita ada 1300 suku, 700 bahasa, tapi seakan-akan suku itu saat ini banyak yang kehilangan jati diri. Apalagi generasi mudanya, mereka merasa tidak kekinian, modernisasi mengubah kebiasaan,” kata Ono.
Contohnya, saat ini pemerintah setiap tahunnya mengimpor 12 juta ton gandum lantaran terjadi pergeseran kebiasaan konsumsi anak muda.
“Mereka berpikir ‘ah ga mau nasi’ tapi makan gandum, karena merasa lebih keren dan kekinian. Padahal gandum tidak bisa ditanam di Indonesia, harus impor,” kata Ono.
Sementara soal kebiasaan warga Kampung Adat Cireundeu yang mengonsumsi singkong, juga harus ditunjang dengan inovasi dan regenerasi supaya tidak mencapai titik akhir adat istiadat.
“Ya harus ada perluasan (bidang tanam singkong), sosialisasi sumber karbohidrat non beras ini. Karena produksi makanan karbohidrat non beras juga harus digalakkan, mengingat luasan bidang tanam beras setiap tahun mengalami penyempitan,” kata Ono.
Kampanye lain yang bisa dilakukan pemerintah mendukung adat istiadat Kampung Cireundeu supaya diterapkan di daerah lain yakni azas kebermanfaatannya.
“Kebiasaan warga mengonsumsi beras ini, dari sisi umur mereka lebih panjang. Lebih sehat, tidak ada obesitas, karena kadar gulanya rendah, ini harus jadi kampenye pemerintah setempat,” tandasnya.**