Cerita Prima Mulia Eks Bassis Puppen: Dari Riuh Distorsi ke Senyap Bidikan Lensa
BANDUNG INSPIRA – Pertengahan 90-an, skena musik bawah tanah di Kota Bandung tengah bergeliat. Di antara deru distorsi dan panggung-panggung kecil yang penuh keringat, lahirlah sebuah band hardcore legendaris: Puppen.
Band ini kemudian menjadi pionir dalam mengangkat semangat perlawanan, idealisme, sekaligus kreativitas anak muda Bandung ke ranah musik keras Indonesia. Di balik gemuruh itu, ada cerita dari Prima Mulia, mantan personel yang kini lebih dikenal sebagai jurnalis foto.
“Awalnya sih nggak pernah mikir komersil. Kita main ya main aja, bikin karya ya bikin aja,” kenang Prima, kepada INSPIRA beberapa waktu lalu.
Namun seiring waktu, mini album yang mereka rilis mulai diterima publik. Tiba-tiba, target untuk membuat album penuh muncul.
Dari situ, mereka mulai serius memikirkan produksi: komposisi, aransemen, hingga karakter suara. Robin, salah satu personel, banyak terlibat dalam mengatur aransemen, sementara seluruh band bersepakat mengejar sound yang lebih berat, lebih low, dan terasa menghantam telinga.
Transisi itu pun membawa dampak besar. Dari sekadar band independen, Puppen mendapati diri mereka tampil di panggung besar. Prima masih ingat betul momen di Gasibu, Bandung, ketika lautan manusia pogo serempak mengikuti musik mereka.
“Itu kayak di luar negeri. Energinya beda banget,” ujarnya. Dari Bandung, mereka merambah tur ke Yogyakarta, hingga sejauh Medan.
Selain musik, lirik-lirik Arian — vokalis sekaligus penulis lirik — memberi warna khas. Penuh keresahan sosial, sesekali berbau semi-politik. “Dia kan anak ITB, bacaan dan pergaulannya juga luas. Jadi wajar kalau liriknya banyak kritik sosial,” kata Prima.
Bagi sebagian orang, mungkin Puppen hanya soal musik keras yang bisa dinikmati sambil moshing. Tapi bagi yang lebih peka, lirik-lirik itu adalah potret zaman, sekaligus suara pemberontakan anak muda kala itu.
Namun, seperti banyak band lain, perjalanan Puppen tidak mulus selamanya. Setelah hampir satu dekade, satu per satu personel mundur, termasuk Prima, karena kesibukan, keluarga, hingga perbedaan visi musikal. “Kalau saya bikin musik lagi, pasti berubah. Nggak bisa pakai nama Puppen lagi,” tegasnya.
Meski begitu, tak ada penyesalan. Puppen telah memberi Prima pengalaman yang sulit ditukar dengan apapun: dari panggung penuh debu di Yogyakarta, diberhentikan polisi karena pogo dianggap rusuh, hingga tur bersama band-band besar. “Itu warna kehidupan, cerita yang akan selalu ada,” ujarnya.
Kini, Prima tak lagi memegang instrumen di panggung. Ia lebih sering memegang kamera, mengabadikan realitas lewat foto jurnalistik. Dari Bandung Pos hingga Tempo, ia menemukan ruang baru untuk menyampaikan keresahan — sesuatu yang dulu ia salurkan lewat musik.
Apakah ia masih merasa bagian dari Puppen? “Bangga, pasti. Tapi sekarang cukup jadi cerita. Kita dulu dianggap rebel, pemberontak, dan itu menyenangkan. Sekarang biarlah jadi bagian sejarah,” katanya sambil tersenyum.
Bagi generasi baru, mungkin nama Puppen hanya sepotong kisah di skena musik Bandung. Namun bagi mereka yang pernah menyaksikan langsung riuh pogo di Gasibu atau debu konser di Yogyakarta, Puppen bukan sekadar band. Mereka adalah simbol bahwa musik bisa jadi perlawanan, sekaligus ruang untuk bersenang-senang.
Untuk Prima, Puppen akan selalu menjadi bab penting dalam perjalanan hidupnya — meski kini ia bercerita lewat lensa, bukan lagi lewat distorsi. (Tim Berita Inspira) **
Keterangan Foto:
Eks bassis Puppen menceritakan pengalamannya saat bergabung dengan band hardcore asal Kota Bandung itu. (Foto: Inspira)


