BANDUNG INSPIRA – Belanda memulangkan kembali 288 artefak bersejarah milik Indonesia yang sempat diambil secara illegal pada zaman kolonial. Repatriasi (pemulangan kembali) artefak-artefak ini dikawal oleh Kemeterian pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbusristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Ketika telah sampai di Indonesia, 288 artefak tersebut kan dikelola oleh Museum dan Cagar Budaya atau Indonesia Heritage Agency dan kemudian dapat dilihat serta dinikmati oleh publik pada pameran pembukaan kembali Museum Nasional Indonesia (15/10).
Hilmar Farid selaku Direktur Jenderal Kebudayaan mengungkapkan bahwa ia berharap artefak-artefak tersebut dapat menjadi ajang pembelajaran dana presiasi terhadap perjuangan dan kerja keras Indonesia dalam memulihkan warisan budayanya.
Kemudian, ia pun menyebutkan bahwa pihaknya telah menyusun serangkaian program khusus sebagai komitmen dilakukanya repatriasi. Tak hanya untuk dinikmati, namun aka nada pula proses konservasi serta penelitian berkelanjutan.
“Kami akan menyiapkan program pendidikan dan kegiatan interaktif yang berujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang nilai historis dan kebudayaan dari artefak tersebut,” ungkapnya.
Penelitian berkelanjutan tersebut disebut akan dilakukan bersama para ahli untuk mengetahui asal-usul masing-masing artefak sehingga dapat diketahui lebih mendalam mengenai sejarah serta peran dari benda-benda tersebut.
Upaya pemulihan serta pelestarian identitas nasional ini telah diusahakan Indonesia sejak tahun 2017.
“Pengembalian ini adalah bagian dari agenda repatriasi yang telah disetujui melalui nota kesepahaman atau (MoU) yang ditandatangani oleh kedua negara (Indonesia dan Belanda) pada tahun 2017,” jelas Farid.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Egbert Willem Bruins di Wereldmuseum, Amsterdam yang selama prosesnya didampangi oleh Mayerfas selaku Duta Besar RI untuk Belanda.
Artefak yang dikembalikan sendiri memiliki beragam jenis, seperti koleksi Perang Puputan Badung yang diambil saat Belanda berada di Bali tahun 1906, kemudian beberapa arca dari Candi Singosari yang termasuk pada repatriasi tahun 2023.
Anggota Komisi X DPR RI, Andreas Hugo Pareira menganggap bahwa pemulangan artefak ini sebagai komitmen dari sejarah bangsa.
“Pemulangan artefak ini tidak hanya memiliki arti penting bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi simbol komitmen dari pemerintah Belanda dalam mengakui sejarah masa lalu,” katanya. (Raihani)**