Bandung dalam Simfoni Ketegangan: Menjaga Kondusivitas di Tengah Gelombang Aksi
GELOMBANG unjuk rasa yang merebak di Bandung —dipicu tewasnya Affan Kurniawan— telah menimbulkan kerusakan nyata. Akibatnya, wajah damai Kota Kembang kini tercabik oleh asap kebakaran dan pilu rakyat yang bersuara.
Pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) pagi, setidaknya lima bangunan besar dibakar dan dirusak massa: kantor MPR RI di Jalan Diponegoro, dua kantor bank di Jalan Dago, rumah makan Sambara, serta satu rumah warga di Jalan Gempol. Videotron dan pos polisi di Taman Dago Cikapayang turut dibakar habis
Terkoyaknya infrastruktur ini mencerminkan kegetiran yang kian memuncak. Namun, bagi warga seni, pelaku usaha, dan masyarakat pada umumnya, kerusakan ini adalah beban ganda: menyuarakan aspirasi sekaligus merawat imaji kota yang kini terlihat luka.
Sebagai respons, Pemerintah Kota Bandung bergerak cepat —menggalang dialog lintas komunitas dan menyiagakan seluruh pejabat kecamatan, lurah, dan RW agar siaga penuh di 30 kecamatan, 151 kelurahan, dan 1.593 RW.
Wali Kota Muhammad Farhan mengundang tokoh masyarakat, akademisi, ulama, tokoh lintas agama, dan DPRD untuk menyatukan komitmen menjaga aman dan menyampaikan aspirasi secara terhormat.
Dalam forum itu, Farhan menegaskan, kebebasan bersuara adalah milik rakyat —namun harus disertai tanggung jawab dan ketertiban. “Bandung tidak memberi ruang bagi anarkisme. Negara wajib menjaga keamanan, dan kita wajib merawatnya bersama,” ujarnya.
Pemkot Bandung tak hanya berkumpul lewat retorika. Segera setelah kejadian, tim gabungan langsung melakukan pemulihan fasilitas publik dan infrastruktur jalan—seperti lampu lalu lintas, video board, serta sisa-sisa bangunan terbakar.
Dishub serta pihak keamanan turun tangan mengurai kemacetan akibat padamnya sistem lalu lintas.
Pemerintah juga memastikan pasokan bahan pokok aman dan menenangkan wisatawan agar tidak khawatir.
Di sela porak-porandanya kota, angan warga masih mengendap dalam doa dan harapan. Ada rasa frustrasi atas ketimpangan dan respons tata kelola yang lambat. Namun, masih ada suara lembut untuk menahan amarah: agar aspirasi tak hilang ditelan ledakan emosi dan perusakan.
Ketika #AffanKurniawan dan #11TuntutanRakyat menggema, itu bukan sekadar unjuk rasa—itu adalah peluit peringatan demokrasi: kepercayaan sedang diuji. Kehilangan nyawa Affan harus jadi momentum introspeksi: untuk DPR, pemerintah, dan rakyat—bahwa demokrasi sejati adalah dialog, bukan destruksi.
Bandung adalah kota kreativitas, solidaritas, dan semangat inklusif—jangan biarkan gemuruh kerusuhan menenggelamkan jati diri itu. Mari menafsir ulang kemarahan dalam ruang dialog, bukan aspal terbakar. Mari jaga Bandung tidak hanya secara fisik, tapi juga secara moral.
Kondusivitas kota bukan hadiah. Ia adalah hasil kolaborasi—antara pemerintah yang mendengar, rakyat yang beradab, serta lembaga yang menemani perubahan bukan meneror. Dalam simfoni getir ini, mari kita mainkan nada kebersamaan, bukan simfoni perseteruan.***


