Anak-anak Gaza di Tengah Kelaparan Buatan: DK PBB Serukan Bantuan, Cuma AS yang Menahan Diri
BANDUNG INSPIRA – Di sudut sebuah klinik Save the Children, suara tangis anak-anak yang lemah terdengar samar. Mereka tak lagi memiliki tenaga untuk berbicara, bahkan untuk menangis kesakitan. Tubuh mereka kurus kering, tampak sekarat, akibat malnutrisi parah.
Inga Ashing, CEO Save the Children, menggambarkan kondisi ini dengan getir. “Saat ini, anak-anak di Gaza secara sistematis dibuat kelaparan hingga meninggal. Ini bukan bencana alam, tapi kelaparan yang direkayasa, buatan manusia,” ujarnya, seperti dikutip dari Anadolu.
Bencana kelaparan yang kini melanda Gaza bukan kabar kosong. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, Joyce Msuya, mencatat lebih dari setengah juta warga menghadapi kelaparan, kemiskinan ekstrem, dan ancaman kematian—sekitar seperempat dari populasi wilayah itu. Jumlah ini diperkirakan bisa melonjak menjadi 640.000 orang pada akhir September.
Sejak blokade total yang diberlakukan Zionis Israel pada Maret lalu, 2,4 juta warga Gaza hidup dalam ancaman kelaparan, penyakit menular, dan keruntuhan sistem layanan publik. Otoritas kesehatan setempat melaporkan, hingga Rabu, kelaparan telah merenggut 313 nyawa, termasuk 119 anak-anak.
Di tengah kondisi kritis ini, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan deklarasi yang mengecam penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, praktik yang jelas-jelas dilarang oleh hukum humaniter internasional. Deklarasi ini diteken hampir semua anggota DK PBB, kecuali Amerika Serikat.
AS memilih menahan diri, hanya mendesak Israel untuk “mengakhiri pembatasan pengiriman bantuan kemanusiaan segera dan tanpa syarat,” serta membatalkan rencana memperluas operasi militer di Gaza. Sementara itu, DK PBB menekankan perlunya gencatan senjata segera, pembebasan sandera, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah kantong itu.
“Bencana ini bukan sekadar kelaparan biasa. Ini adalah bencana yang diciptakan—hasil dari konflik yang telah menimbulkan kematian warga sipil, cedera, kehancuran, dan pengungsian masif,” ujar Joyce Msuya.
Di klinik-klinik dan rumah-rumah Gaza, bayangan bencana terlihat nyata. Setiap anak yang lemah, setiap warga yang menunggu obat, setiap keluarga yang menguatkan satu sama lain di tengah kekurangan, adalah bukti bahwa perang dan blokade telah mengubah kelaparan menjadi senjata yang mematikan.
Di balik angka statistik dan perdebatan diplomatik, wajah-wajah di Gaza menjadi pengingat bahwa bencana kemanusiaan ini adalah urusan manusia. Mereka yang bertahan hari ini adalah saksi hidup bahwa kelaparan buatan telah merenggut masa kecil, kesehatan, dan harapan—menjadi luka yang menuntut perhatian dunia. (Tim Berita Inspira) **


