Bandung di Persimpangan: Antara Pesona dan Krisis Kota
BANDUNG kembali menua, namun pesonanya tak pernah benar-benar pudar. Kota ini adalah pertemuan sejarah dan harapan, tempat di mana semangat muda berpadu dengan jejak panjang perjuangan.
Setiap ulang tahun bukan hanya hitungan waktu, melainkan cermin untuk menatap wajah sendiri: adakah Bandung masih setia menjadi kota yang ramah, kreatif, dan penuh daya hidup?
Di balik indahnya sebutan “kota kreatif” tersimpan luka yang menuntut penyembuhan. Jalanan Bandung kini penuh sesak, menempatkan kota ini di urutan ke-12 termacet di dunia menurut TomTom Traffic Index 2024.
Dari 2,37 juta kendaraan yang berjejal, hanya segelintir —kurang dari 10 persen— yang mau berbagi ruang dengan transportasi umum. Tak heran, waktu habis di simpang lampu merah, produktivitas terbuang, kerugian menganga hingga Rp12 triliun setiap tahun.
Udara yang dahulu sejuk kini sering tercemar asap. Ruang hijau yang dulu meneduhkan, kini menyusut drastis, hanya tersisa 12,25 persen dari luas kota. Angka ISPU merangkak naik, menyentuh level tidak sehat. Dari knalpot sepeda motor hingga mobil pribadi, polusi menjadi bayangan yang terus menghantui.
Sampah pun menumpuk, kian hari kian berat. Dari 1.500 ton sehari pada 2020, kini menjadi 2.100 ton. Baru 234 RW yang berhasil menjadi Kawasan Bebas Sampah. Selebihnya masih berjuang melawan gunungan plastik, sisa makanan, dan kebiasaan lama yang sulit diubah.
Bandung Raya, dengan lebih dari delapan juta jiwa, terus bertumbuh dalam kepadatan. Rasio jalan hanyalah 2,5 km untuk setiap 1.000 kendaraan, tak cukup untuk menampung arus urbanisasi yang tak terbendung. Kota ini seperti tubuh yang terus bernapas, tetapi paru-parunya sesak.
Meski begitu, harapan tak pernah benar-benar padam. Pemerintah mencoba melangkah lewat teknologi, seperti Area Traffic Control System (ATCS) untuk mengatur denyut lalu lintas. Namun, teknologi hanyalah alat—yang lebih penting adalah keberanian untuk mengubah kebiasaan, membangun budaya baru, dan menghidupkan kembali gotong royong.
Ulang tahun seharusnya menjadi janji. Janji untuk menjadikan Bandung bukan hanya indah untuk dikenang dalam puisi, tetapi layak ditinggali dengan bangga. Janji untuk tidak membiarkan macet, polusi, dan sampah menjadi warisan bagi anak cucu. Janji untuk terus merawat kota ini, sebagaimana kita merawat rumah sendiri.
Selamat ulang tahun, Bandung. Semoga setiap detak jantungmu selalu membawa denyut kehidupan, dan setiap langkahmu adalah jalan menuju kota yang lebih teduh, adil, dan penuh kasih bagi semua yang mencintaimu. (Gin)
Keterangan Foto:
Jalan Braga menjadi salah satu ikon Kota Bandung. (Foto: Pixabay)


