Menenun Luka Menjadi Cahaya: Kisah Ambu di Rumah Pejuang Kanker
BANDUNG INSPIRA – Duka pernah mematahkan hatinya, ketika sang anak pergi lebih dulu karena menderita kanker mata. Tapi Dewi Nurjanah, Ambu bagi banyak orang, memilih menenun luka itu menjadi kasih. Dari sanalah berdiri Rumah Pejuang Kanker Ambu, tempat yang kini menjadi hunian kedua bagi para pejuang yang menolak menyerah.
Lebih dari 13 tahun Ambu menambatkan seluruh hidupnya di Rumah Pejuang Kanker Ambu. Di sebuah sudut sunyi Jalan Bijaksana Dalam, Pasteur, Sukajadi, Kota Bandung, rumah sederhana itu menjelma pelita —menjadi tempat bernaung dan setitik harapan bagi keluarga-keluarga yang digulung nasib serupa.
Di rumah itu, Ambu merawat bukan hanya anak-anak yang berjuang melawan kanker, tapi juga harapan-harapan kecil yang nyaris padam. Menyeka air mata orang tua yang hampir menyerah, sembari berbisik bahwa mereka tidak sendiri. Setiap senyum mereka adalah alasan Ambu masih berdiri, meski dulu dia pernah hancur kehilangan.
Sudah ratusan jiwa singgah, datang dengan ketakutan, lalu pulang membawa secercah keberanian baru. Ambu percaya, setiap senyum yang kembali tumbuh, setiap tawa kecil yang muncul di tengah terapi, adalah pengganti yang Allah titipkan.
“Dulu anak saya juga terkena kanker dan harus menjalani pengobatan selama 2 tahun 3 bulan akhirnya berikan yang terbaik, gitu ya, Pak. Karena saya merasakan pahit pedihnya saya dulu, sehingga jangan sampai teman-teman yang masih berjuang itu ngalamin lah kayak saya harus ada rumah, makan, obat-obatan, gitu ya,” kata Ambu kepada Inspira, beberapa waktu lalu.
Awalnya, Ambu hanya mengontrak satu rumah kecil. Tapi perlahan, lewat donasi orang-orang baik, ia bisa menyewa lebih banyak rumah hingga kini mengelola lima rumah singgah. Semua fasilitas di sana gratis: tempat tinggal, antar-jemput ke rumah sakit, kebutuhan sehari-hari, bahkan ambulans untuk membawa pasien.
Kini, lebih dari 30 pasien dari berbagai daerah tinggal bergantian di rumah singgah ini. Ada yang berasal dari Bandung, Bogor, Lampung, bahkan NTT. Mereka bisa tinggal berbulan-bulan, mengikuti jadwal kemoterapi yang panjang.
“Di sini 100 persen gratis. Saya memberikan selain tempat tinggal, pendampingan ke rumah sakit, antar jemput juga ke rumah sakit, gitu ya, kebutuhan pribadi kayak sabun cuci, sabun mandi, obat-obatan yang pasti itu kita sediakan di sini semuanya, gitu,” jelas Ambu.
Selain memastikan kebutuhan fisik, Ambu juga menekankan pentingnya semangat. Ia kerap mengundang mahasiswa dan komunitas untuk bermain bersama anak-anak. Bahkan, setiap ada pasien yang berulang tahun, mereka selalu mengadakan pesta kecil.
Bagi Ambu, obat kanker bukan hanya berupa kemo yang menyakitkan tubuh kecil itu. Senyum, pelukan, dan tawa adalah penawar jiwa. Di setiap ulang tahun, Ambu memastikan ada kue kecil, lilin, dan doa. Ia tahu, mungkin itu adalah ulang tahun terakhir sang anak.
Ambu hanyalah lulusan kelas lima SD. Tapi pengalaman hidup membuatnya jadi guru bagi banyak orang. Dia banyak belajar dari kehidupan yang dijalani dengan penuh keyakinan. “Ya, kesulitannya kayak antar dijemput ke rumah sakit, itu pun dipersulit, ya, karena memang tidak bisa beraktifitas seluas, sebebas yang sebelum COVID, gitu lah ya, Pak. Donatur juga berkurang,” tegas Ambu.
Meski sudah berjalan lebih dari satu dekade, semua rumah singgah ini masih berstatus sewa. Ambu berharap ada pihak baik hati yang mau menghibahkan rumah agar perjuangan ini tidak terus terikat kontrakan. Ambu sadar, perjuangannya tak bisa sendirian. Ia kerap mengajak pemerintah, tokoh masyarakat, maupun siapapun yang peduli untuk melihat langsung anak-anak pejuang kanker ini.
Kini, Rumah Pejuang Kanker Ambu bukan sekadar tempat singgah. Ia menjadi simbol kasih sayang tanpa batas, rumah harapan bagi ratusan keluarga yang tengah bertarung melawan kanker. Ambu sendiri menyebut dirinya hanya “ibu rumah tangga biasa”. Tapi bagi anak-anak itu, ia adalah ibu kedua, sosok yang memastikan bahwa di tengah derita, mereka tetap bisa merasakan hangatnya rumah, kasih sayang, bahkan merayakan ulang tahun terakhir dalam hidup mereka.
Bagi Ambu, kehilangan anaknya memang menyakitkan, tetapi Allah menggantinya dengan ratusan anak baru. Anak-anak yang setiap hari ia temani, ia rawat, dan ia motivasi agar tetap berani melawan rasa sakit. Di rumah ini, duka berubah menjadi harapan, dan luka berubah menjadi kasih yang tak pernah kering. (Tim Berita Inspira) **
Keterangan Foto:
Dewi ‘Ambu’ Nurjanah (Tengah) berfoto bersama anak-anak penderita kanker di Rumah Pejuang Kanker Ambu Jalan Bijaksana Dalam, Pasteur, Sukajadi, Kota Bandung.


