Kisah Mufid ‘Toekang Saeh’, Penjaga ‘Nyala’ Daluang dari Ujung Berung
BANDUNG INSPIRA – Dari sebuah rumah sederhana di Kompleks Koperasi Ujung Berung, cerita itu mengalir. Datangnya dari Ahmad Mufid Sururi.
Pria yang menyebut dirinya Toekang Saeh itu berbagi kisah tentang idealisme: mempertahankan keberadaan daluang sebagai kertas tradisional khas Indonesia.
Ingatan Mufid kemudian berkelana ke masa silam, saat dia mulai berkenalan dengan daluang yang kini sudah menjadi bagian hidupnya.
Sebelum mengenal daluang, selepas SMA tahun 1992, Mufid sempat mempelajari teknik membuat kertas dengan cara cetak saring atau pulping: membuburkan material, lalu menyatukannya kembali menjadi lembaran. .
Namun, saat bertemu Daluang, Mufid merasa terpanggil. Dia pun mencoba mengeksplorasi sendiri. Dari situ muncul ide membuat brand. “Saya memilih nama Toekang Saeh,” ujarnya kepada INSPIRA beberapa waktu lalu.
Pemilihan nama Toekang Saeh tak sembarangan muncul. Saeh adalah penamaan untuk jenis pohon di Jawa Barat. Kulitnya diperuntukkan untuk membuat Daluang.
Dengan nama itu, Mufid merasa lebih bebas mengeksplorasi kemungkinan lain, bukan hanya membuat lembaran untuk alas tulis atau gambar.
Ketekunan Mufid membawa Daluang ke berbagai penjuru, bahkan lintas negara. Ia tak menyangka, dari workshop sederhana, kertas tradisional ini bisa menarik perhatian tamu dari Jepang hingga Kroasia.
“Kadang dari pertemuan dengan teman, lalu teman itu bercerita kepada orang lain, sampai akhirnya orang asing datang. Ada yang begitu tertarik, sampai rela menginap beberapa hari hanya untuk belajar lebih dalam tentang Daluang,” tuturnya.
Namun, perjalanan ini banyak terjadi secara organik, tanpa campur tangan besar dari pemerintah. Meski pada 2014 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sempat menetapkan Daluang sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, dampaknya belum benar-benar terasa di kalangan perajin.
“Sampai hari ini, saya masih memakai pemukul Daluang pemberian seorang profesor Jepang. Itu bentuk kebaikan hati, bukan dari negara,” katanya lirih.
Pertanyaan besar yang terus menghantui adalah: mengapa Daluang tak setenar Washi Jepang atau Hanji Korea? Menurut Mufid, jawabannya kompleks.
“Banyak pihak harus berkontribusi jika ingin Daluang sejajar dengan kertas-kertas lain di dunia. Jepang punya Washi, Mesir dengan Papirus, Korea dengan Hanji, Thailand dengan Sack Paper, Meksiko dengan Amate. Kita punya Daluang, jangan salah. Sayangnya tradisinya sempat mati,” jelasnya.
Bahkan, katanya, negara lain menjadikan kertas tradisional sebagai identitas budaya. Dia lantas menceritakan pengalaman seorang teman saat bepergian ke luar negeri.
“Teman saya pernah transit di Korea, di bandara tersedia hanji sebagai merchandise resmi negara. Bayangkan jika Daluang juga mendapat tempat seperti itu, betapa layaknya ia menjadi ikon Indonesia,” tambahnya.
Catatan seorang peneliti asing pada 1927 menyebut, kala itu hanya tersisa tiga keluarga pembuat Daluang: di Garut, Ponorogo, dan Madura.
Fakta ini mempertegas betapa rapuhnya tradisi tersebut. Bagi Mufid, lahir dan besar di Jawa Barat menjadi alasan moral untuk melestarikan warisan itu.
“Saya merasa punya kepentingan untuk mengangkat kembali, mengeksplor lebih dalam, dan mengajak orang lain berkolaborasi,” katanya. Bahkan, ia sampai tidak ingin terlalu bergantung pada pemerintah. “Bagi saya, kita sama-sama manusia. Tidak perlu menunggu siapa pun.”
Kini, Daluang tak hanya hadir di bengkel kecilnya. Perpustakaan Nasional menyediakan spot khusus untuk karya-karya Daluang, lengkap dengan video dokumenter yang diputar setiap hari. Perlahan, jejak kertas tradisional ini mulai mendapat pengakuan.
Tantangan besar lain adalah bahan baku. Pohon Saeh, bahan utama Daluang, semakin sulit ditemukan di Bandung Raya. Kebanyakan kini harus didapat dari Garut. “Tradisinya sempat mati, orang sudah tidak menanam lagi. Buat apa, kalau tidak ada yang memakai?” katanya.
Untuk itu, ia mulai mengajak masyarakat menanam kembali pohon saya. Bahkan, ia punya inisiatif menitipkan bibit ke halaman warga yang bersedia. “Siapapun yang punya rumah dan halaman, saya datang menanam. Beberapa sudah merespons,” ujarnya.
Meski sederhana, langkah itu menjadi simbol harapan. Bahwa Daluang tidak sekadar kertas, melainkan warisan pengetahuan, seni, dan filosofi yang bisa kembali tumbuh jika ada kemauan bersama.
“Bagi saya, ini bukan milik Jawa Barat saja. Dulu, dari Jawa sampai Madura ada tradisi Daluang. Jadi ini warisan Nusantara. Layak untuk kembali hadir di dunia,” pungkasnya. (Tim Berita Inspira)
Keterangan Foto:
Ahmad Mufid Sururi sedang mengerjakan daluang, kertas tradisional asal Jawa Barat.


