Zikir di Atas Awan: Santri Nihadlul Qulub Taklukkan Puncak Gunung Slamet
BANDUNG INSPIRA – Bagi santri Pesantren Nihadlul Qulub, belajar bukan hanya soal duduk di serambi, mengaji kitab kuning, atau menghafal ayat-ayat suci. Alam pun menjadi guru, dan setiap langkah kaki bisa menjadi zikir.
Tahun ini, menyambut Hari Kemerdekaan, enam santri bersama sang kyai memilih cara yang berbeda: mendaki Puncak Surono, titik tertinggi Gunung Slamet—gunung kedua tertinggi di Pulau Jawa.
Ekspedisi ini mereka sebut Tadabbur Jibal Slamet—perjalanan merenung, mengingat Allah, sekaligus menguji fisik dan mental. Bukan sekadar menaklukkan ketinggian, tapi juga menaklukkan diri sendiri.
Pendakian dimulai pada 7 Agustus 2025, pukul 08.00 WIB, dari Basecamp Permadi di Guci, Tegal. Jalur ini dikenal panjang dan menguras tenaga, namun Kyai Ali Sobirin punya alasan khusus memilihnya.
“Jalur Permadi itu lambat tapi penuh makna, sejalan dengan semangat tadabbur kami,” ujarnya, seperti dikutip dari laman resmi Kemenag, Kamis (13/8/2025).
Perjalanan dibagi menjadi empat tahap:
Basecamp – Pos 1: Jalur landai sebagai pemanasan.
Pos 1 – Pos 2: Tanjakan awal yang mulai menguji napas dan otot.
Pos 2 – Pos 3: Jalur landai yang memberi jeda untuk mengatur ritme.
Pos 3 – Pos 4: Jalur panjang dan melelahkan, menguras stamina.
Enam setengah jam kemudian, mereka tiba di Pos 4. Malam itu, hanya cahaya bintang yang menemani istirahat mereka.
Jumat dini hari, pukul 03.00 WIB, perjalanan menuju puncak dimulai. Udara dingin menggigit, otot paha menegang, dan napas tersengal. Namun, kebersamaan menjadi energi tambahan.
“Untung ada santri yang setiap kali berhenti langsung memijat. Itu yang bikin saya kuat sampai puncak,” kenang Kyai Ali.
Enam jam kemudian, Puncak Surono menyambut mereka. Awan bergulung di bawah kaki, lembah hijau membentang, dan kawah belerang mengepulkan asap putih.
Di tengah keindahan itu, mereka mengibarkan bendera Merah Putih—menggantikan rencana awal mengibarkan bendera bajak laut One Piece. “Hormat kami pada pahlawan membuat kami tetap mengibarkan bendera negara,” tegas sang kyai.
Bagi para santri, setiap detak jantung saat mendaki adalah ayat yang bisa dibaca.
“Setiap rasa sakit dan pemandangan ini adalah pengingat bahwa manusia lemah tanpa Allah,” ucap Andar, santri asal Nabire, Papua Tengah.
Ekspedisi ini juga bagian dari misi pesantren untuk membentuk kecerdasan santri di lima aspek: spiritual, intelektual, mental, fisikal, dan finansial.
“Mendaki gunung adalah strategi kami untuk menumbuhkan dua kecerdasan itu—mental dan fisik—dengan tetap menjaga ruhani,” jelas Ali Sobirin El-Muannatsy, pengasuh pesantren sekaligus penulis buku Teknologi Ruh. (Tim Berita Inspira) **
Keterangan foto:
Tim Nihadul Qulub di puncak Gunung Slamet. (Foto Dok Kemenag)


