BANDUNG INSPIRA- Kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencuat akibat pemberian fasilitas kredit kepada grup perusahaan yang tidak memenuhi prinsip tata kelola yang baik dan tidak sesuai dengan kebijakan perkreditan. Hal ini menyebabkan meningkatnya kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) hingga 23,39% pada tahun 2019 serta kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan penyimpangan dalam penyaluran kredit yang bersumber dari APBN, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp11,7 triliun. Dalam proses penyidikan, KPK menemukan indikasi bahwa fasilitas kredit diberikan tanpa analisis risiko yang memadai, serta adanya dugaan manipulasi dalam proses persetujuan.
Dilansir dari Antaranews.com, Sejauh ini, KPK telah menetapkan lima tersangka, terdiri dari dua pejabat LPEI, yakni Direktur Pelaksana 1 Wahyudi dan Direktur Pelaksana 4 Arif Setiawan. Selain itu, ada tiga tersangka dari PT Petro Energy, yaitu Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy), Susi Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan PT Petro Energy), dan Newin Nugroho (Direktur Utama PT Petro Energy).
“Sepuluh debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut, untuk kemudian nantinya akan kita sampaikan juga kepada rekan-rekan jurnalis, saat akan ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Budi yang dikutip dari Antaranews.com.
Penyelidikan mengungkap berbagai pelanggaran dalam pencairan kredit, seperti analisis kelayakan yang lemah, penggunaan dokumen fiktif, serta penyetujuan kredit meskipun perusahaan penerima dalam kondisi keuangan yang tidak sehat. Kredit yang diberikan kepada PT Petro Energy mencapai sekitar Rp988,5 miliar, yang dicairkan dalam beberapa termin dari tahun 2015 hingga 2017, yaitu 2 Oktober 2015 sekitar Rp 297 miliar, 19 Februari 2016: sekitar Rp 400 miliar, dan 14 September 2017: sekitar Rp200 miliar
Dugaan penyimpangan ini diperkuat dengan temuan bahwa PT Petro Energy memiliki rasio keuangan yang tidak sehat, dengan current ratio hanya 0,86, yang menunjukkan kesulitan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, diduga terdapat kontrak fiktif sebagai dasar pengajuan kredit, yang diketahui oleh direksi LPEI namun tetap disetujui tanpa verifikasi lebih lanjut.
Meskipun tim analis internal LPEI telah memberikan peringatan terkait ketidaklayakan PT Petro Energy sebagai penerima kredit tambahan, pihak direksi tetap menyetujui pencairan dana. KPK menduga hal ini terjadi karena adanya kesepakatan antara direksi PT Petro Energy dan pihak LPEI untuk mempermudah proses pemberian kredit.
Saat ini, KPK masih mendalami aliran dana serta kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Penyidik juga menelusuri apakah ada indikasi gratifikasi atau suap dalam proses persetujuan kredit. Selain upaya penegakan hukum, KPK juga berupaya untuk memulihkan kerugian negara, termasuk dengan menyita aset yang terkait dengan kasus ini.
Dengan perkembangan penyidikan yang masih berjalan, KPK tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi di LPEI. (Salsa Solihatunnisa)**