BANDUNG INSPIRA – Zaman terus menerus berkembang. Di era digital masa kini, kejahatan tidak hanya terjadi secara langsung di pasar ataupun supermarket. Cybercrime tidak menjadi hal asing lagi bagi Fresh Reader kan?
Salah satu cybercrime yang kerap terjadi di Indonesisa adalah sekstorsi. Menurut Jordy Herry (2020), Sekstorsi merupakan kekerasan seksual berbasis online dengan memeras korban terlebih dahulu secara materil maupun immateril disertai dengan ancaman pelaku akan menyebarluaskan konten pornorafi milik korban.
Sekstorsi dan Non-Consensual Pornography (Revenge Porn) memang memiliki definisi yang hampir sama. Namun ada satu perbedaan dimana sekstorsi mengandung unsur pemerasan oleh pelaku dengan imbalan uang maupun jasa. Komnas Perempuan, dalam siaran persnya (8/3/2022) menyatakan bahwa pengaduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) meningkat. Daru 2.134 kasus pada tahun 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021.
Dilansir oleh katadata.com, sepanjang 2021 mantan pacar merupakan pelaku dominan lalu disusul suami dan pacar di bawahnya. Jadi, fresh reader, ada kalanya fresh reader perlu meningkatkan waspada terhadap orang sekitar meskipun yang kamu percayai juga. Setelah berbagai kasus terjadi, tak jarang korban sekstorsi justru diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Istilah blaming the victim atau anggapan pada seseorang sebab perilaku “liar” seringkali terjadi di masyarakat. Hal ini menjadi pemicu korban enggan dan malu untuk melaporkan kejahatan yang telah menimpanya.
Dengan dominan korban yang berjenis kelamin perempuan, mereka kerap dianggap inferior akibat budaya patriarki. Obsesi pada tubuh perempuan saat ini tercermin dalam hukum, nilai budaya politik maupun pandangan sosial. Laki-laki menyebarluaskan foto mantannya dan mengambil kontrol perempuan tersebut.
Embel-embel “makanya jangan gampang pap ke pacar,” atau “makanya jangan nyebarin video privat ke siapapun,” secara tidak langsung menyalahkan korban yang dianggap sembrono. Pusat kesalahan kasus seingkali diletakkan pada korban, dimana korban justru telah direnggut kebebasannya.
Mengutip dari laman Asumsi.co, menjelaskan bahwa ketika kebebasan seseorang telah direnggut, kesehatan mental pun ikut terganggu. Risiko kesehatan mental yang dialami korban sekstorsi memiliki kesamaan dengan korban pemerkosaan. Mereka sering mengalami PTSD (post traumatic stress disorder), serangan kecemasan dan depresi. (Dewi,2021). (ade)**
Sumber : Jurnal FH Universitas Negeri Semarang, komnasperempuan.co,katadata.com,
asumsi.co